|
Islamophobia LSM Perempuan terhadap Formalitas Syariat Islam
Poligami vs Anti Poligami : Serangan Orientalis terhadap Islam
Menggembirakan sekaligus menyedihkan. Di satu sisi LSM perempuan kian berkembang
dan semakin kritis. Di sisi lain, mereka kebablasan dalam mengekspresikan sikap
demokrasinya. Ketika formalisasi Syariat Islam diterapkan secara tidak arif, LSM
perempuan langsung mencap "Islam" sebagai sumber masalah. Ujung-ujungnya
penolakan Syariat Islam.
sungguh mengejutkan, ketika empat pembicara - semuanya perempuan - yang hadir
dalam Seminar Nasional di Jakarta mengurai pelbagai persoalan formalisasi
Syariat Islam di daerahnya masing-masing. Busana muslimah dan jilbab yang mereka
pakai, memberi kesan religius yang mendalam bahwa mereka menjalankan syariat
agamanya dengan baik. Namun, tak dinyana di balik kemasan religiusnya, mereka
begitu antipati terhadap Islam. :foto
Lihat saja, bentuk protes yang mereka lakukan seperti mengada-ngada. Entah,
mereka terlalu pintar atau sedang mengemban misi tertentu yang bisa jadi pesanan
pihak lain. Karenanya, bukan rahasia umum lagi, jika selama ini banyak LSM yang
bermunculan didanai oleh jaringan internasional. Sebut saja seperti Asia
Foundation, yakni lembaga nonprofit asal Amerika Serikat yang selama ini
dikenal sebagai penyuplai dana bagi penerbitan tertentu atau LSM-LSM, termasuk
LSM perempuan.
Melihat gerakan "penghancuran" ala Asia Foundation" yang sedemikian
halus, hampir tak bisa dibedakan, antara membantu atau mengobok-obok harga diri
sebuah bangsa. Pelbagai cara dilakukan gerakan ini untuk melemahkan akidah dan
menjungkirbalikkan pemikiran (ghazwa al-fikr) kaum perempuan (muslimah),
bukan hanya di kota-kota besar, tapi juga di daerah-daerah yang miskin dengan
penerangan.
Sejumlah fenemona dan realitas yang terjadi di masyarakat pun diangkat. Ketika
yang muncul praktik "pelanggaran HAM" menurut kaca mata mereka, lantas dibuatlah
satu kesimpulan, bahwa ajaran agama ternyata hanya mendiskreditkan kaum
perempuan. Agama (Islam) difitnah dan dianggap sebagai sumber masalah. Padahal
yang seharusnya dikritisi bukan faktor Islamnya, melainkan individu atau
kelompok tertentu yang tak arif dan kaku dalam menerapkan formalisasi Syariat
Islam.
Pandangan Feminin Radikal
Apa yang diuraikan dalam Seminar Nasional "Perempuan dalam
Arus Formalisasi Syariat Islam ( Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan
Banten )" beberapa waktu lalu, tak lain adalah doktrin dan propaganda
ngawur LSM Perempuan terhadap masyarakat, dalam hal ini
Rahima selaku penyelenggara.(awas Rahima... )
Menurutnya, penerapan syariat Islam di Indonesia pada dasarnya adalah persoalan
klasik menyangkut hubungan agama dan politik yang tidak pernah tuntas di negeri
ini. "Sejarah mencatat bahwa di semua negara yang menerapkan syariat Islam,
hampir selalu diawali dengan kontrol terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan
bahwa dalam masyarakat Muslim, isu seksualitas kerapkali menjadi isu publik
bahkan isu politik. Kebanyakan wacana Islam yang berkembang selalu terobsesi
oleh seksualitas perempuan, terutama bagaimana mengatur dan mengontrolnya."
Ungkapnya lagi, "Sebenarnya yang menonjol di permukaan bukanlah "formalisasi
Syariat" melainkan 'formalisasi fikih'. Hal ini karena dalam implementasinya,
formalisasi syariat justru mengabaikan ajaran yang memuat sejumlah nilai
keadilan, kedamaian, keadaban dan kesetaraan."
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahima, ada dua persoalan besar yang
dihadapi oleh gerakan perempuan di tengah merebaknya upaya formalisasi Syariat
Islam di berbagai daerah. Pertama, upaya formalisasi telah memunculkan agenda
berupa penyusunan berbagai produk kebijakan lokal yang kurang ramah pada
perempuan dengan pemahaman-pemahaman yang bersifat normatif dan tekstualis.
Kedua, pemahaman tekstualis dan penafsiran keagamaan yang bersifat tekstualis
itu tidak hanya berada pada wilayah formal (negara) tetapi juga menjadi pegangan
sebagian besar tokoh masyarakat di jalur kultural (ulama) yang masili bercorak
patriarki. "Oleh karena itu tugas untuk memperkenalkan spirit nilai Islam
seperti keadilan, kedamaian, keadaban, dan kesetaraan jauh lebih penting.
Syariat Islam perlu diperkenalkan tidak melulu dalam konteks legal formalnya,
akan tetapi justru pada nilai-nilai universal yang dibawanya. Dengan pemahaman
ini, tampilan wajah Islam yang sangar bisa diubah dengan memperkenalkan esensi
Islam sebagai rahmatan lil'alamin."
Syariat Islam, lanjutnya, bukanlah harus selalu berisi kisah-kisah peminggiran
hak-hak perempuan. Akan lebih baik kalau semua pihak turut mendukung upaya
memperkenalkan hak-hak perempuan dalam Islam. Kita berharap tak ada lagi
nantinya teks-teks yang dipakai untuk "merendahkan sesama manusia" dengan baju
agama.
Syariat Islam Digugat
Mengapa Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten yang diangkat sebagai objek yang
digugat? Karena di keempat wilayah inilah formalisasi Syariat Islam, tak lagi
sekedar wacana, tapi direalisasikan.
Di Kabupaten Tasikmalaya umpamanya, LSM Perempuan mempersoalkan Surat Edaran
bupati no. 451/SE/04/SOS/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan
ketakwaan. Terutama pada klausul "dianjurkan kepada siswi SD, SLTR SMU/SMK,
Lembaga Pendidikan Kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk
mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan menutup aurat. Prakteknya
diakui sebagai kewajiban memakai jilbab. Persoalan ini dianggap kebijakan yang
diskriminatif pada kaum perempuan.
Belum lagi, awal tahun 2000-an, pernah terjadi aksi sepiriak dari kelompok
"Islam Politik", yakni melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan dan
razia pekerja seks. Tindakan itu dilakukan atas dua alasan, yakni (1) sejak
Perda No. 3 Tahun 2001 ditetapkan, berarti pula telah disahkan Kabupaten
memberlakukan Syariat Islam, dan (2) tidak munculnya tokoh-tokoh agama yang
moderat, padahal mayoritas jumlahnya.
Menyikapi hal tersebut, muncul beberapa civil society untuk melakukan counter
terhadap kebijakan pemda setempat sekaligus penguatan terhadap hak-hak perempuan
di Tasikmalaya. Sebut saja seperti ASPER (Aspirasi Perempuan), Cerdas, Nahdina,
LKHaM (Lingkar Kajian Agama dan HakAsasi Manusia), PMII dan KOHATI.
Tak berbeda dengan di Garut. Mereka mempersoalkan Surat Edaran Bupati tentang
himbauan memakai busana Muslimah bagi seluruh karyawati Pemda Garut Begitu juga
dengan Perda No. 6 tahun 2000 tentang kesusilaan. Perda ini sering digunakan
untuk sweeping terhadap pekerja seks perempuan dan pembakaran warung-warung yang
diindikasikan tempat berkumpulnya lelaki pencari PSK (Pekerja Seks Komersial).
Bagaimana dengan Cianjur? Sama-sama tidak realistisnya. Mereka mempersoalkan
Surat Edaran N0.451/277/ASSDA, tanggal 6 September 2001 tentang persiapan
Gerakan aparatiir yang berakhlakul karimah dan Gerakan Masyarakat Marhamah.
Menurutnya, Gerbang Marhamah telah membidani lahirnya kebijakan yang tidak
berpihak pada perempuan, seperti Surat Edaran No. 025/4643/Org yang ditegaskan
dengan Surat Edaran 061/2896/Org tertanggal 29 Agustus 2003.
Aturan berjilbab juga diberlakukan bagi siswi dan guru perempuan oleh Kepala
Sekolah SMUN 1 Cianjur. Keputusan LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Islam) melalui Garis-garis Besar Penyuluhan Gerbang Marhamah, dianggap sebagai
suatu kebenaran mutlak atas legitimasi agama dan bila tidak dilaksanakan menjadi
dosa. Tentu saja, ini kontra-produktif bagi pemahaman Islam kontekstual,
khususnya bagi kaum perempuan.
Gerbang Marhamah lebih berorientasi pada pembinaan akhlakul karimah sebagai
prinsip-prinsipnya melalui program keluarga sakinah, aparat yang berakhlakul
karimah dan masyarakat marhamah. Akan tetapi, sosialisasi yang dilakukan oleh
LPPI dalam buku-buku yang diterbitkannya sebagai panduan bagi PSK, menurutnya
merupakan bentuk intervensi negara terhadap kehidupan privat masyarakat Cianjur
yang bias gender seperti dalam panduan keluarga sakinah, misalnya : Perempuan
shalihah adalah perempuan yang taat kepada suami dan apabila keluar rumah harus
didampingi oleh muhrimnya.
Di Banten sama halnya. Mereka menilai pelaksanaaan Syariat Islam di Banten belum
membuahkan hasil, karena belum adanya kesepakatan masyarakat dalam format
syariat Islam, Pefsoalan yang dihadapi perempuan Banten, antara lain, kaum
perempuan Banten kurang berani untuk keluar dari kungkungan tradisi atau kultur,
sekalipun dalam realitasnya merugikan dirinya sendiri, apalagi mengatasnamakan
agama, seperti totalitas taat kepada suami, banyak anak banyak rezeki, syahid
bila mati akibat melahirkan, rela dipoligami, di rumah saja dari sebagainya
Budaya patriarki juga masih kental dan menghegemoni masyarakat Banten, lebih
menekankan kewajiban ketimbang memperhatikan hak-hak perempuan. Pengetahuan
perempuan Banten masih sangat minim terhadap masalah keadilan gender. Belum lagi
penafsiran atau pemahaman yang keliru (bias gender) terhadap teks-teks keagamaan
(Al Quran, Hadis, naskah-naskah fiqri), kekerasan terhadap perempuan baik sektor
privat maupun masyarakat. Poligami difahami sebagai perintah atau Sunnan Rasul
yang sebaiknya dilaksanakan. Bahkan ada ungkapan, "bila ingin menikah dengan
kiai ataupun santri maka harus siap dimadu", Maraknya praktek nikah siri,
pernikahan dini, tingginya angka kematian ibu, TKW bermasalah, hingga PHK
terselubung
Evaluasi Penerapan Syariat Islam
Islam adalah solusi. Tinggal bagaimana menerapkannya secara adil, baik dan
benar. Harus diakui penerapan formalisasi Syariat Islam di empat wilayah
tersebut masih terbilang kaku dan kurang arif. Sebab itu, kita juga tidak
setuju, bila praktik Syariat Islam kemudian menzalimi perempuan. Misalnya saja,
peristiwa penggundulan terhadap PSK dan penelanjangan terhadap karyawati yang
didapati mencuri.
Kita juga tidak setuju, bila penegak syariat Islam cuma sebatas sweeping dan
membakar warung remang-remang tanpa solusi. Setidaknya harus ada upaya untuk
mengevalusi penerapan syariat Islam untuk menjadi lebih baik. Misalnya saja,
Pemda perlu melibatkan Ormas atau LSM perempuan dalam proses pengambilan
kebijakan. Namun, akan menjadi anen bila LSM perempuan menilai niat baik pemda
setempat agar kaum perempuan mengenakan jilbab sebagai bentuk kebijakan yang
memaksa. Adalah mengada-ada, gugatan terhadap kasus pembubaran lokalisasi secara
legal, karena mengakibatkan PSK berceceran di banyak tempat, sehingga tak
sedikit orang yang terkena HIV.
Doktrin ngawur itu nampaknya berhasil menghancurkan akal sehat kaum perempuan.
Sampai-sampai ada pertanyaan sekaligus statemen nyeleneh dari salah seorang dari
LSM perempuan: bagaimana kalau kita sebaiknya mengakui keberadaan PSK, karena
mereka secara ekonomi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Masya Allah, naudzu
billahi min dzalik! (amanahonline)
Adhes SS
::BACK TO HOME::
|
|