Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg (pertama)
Belum lama ini aqidah umat Islam diserang lagi, Al-Qur'an, salah satu pedoman utama umat Islam dianggap tidak otentik. Yang jelas, itu tak luput dari ulah para kaum orientalis
Oleh Syamsuddin Arief *) (Bagian Pertama dari tiga tulisan) Belum lama ini aqidah Umat Islam diserang lagi. Kali ini sasarannya, (lagi-lagi) kitab suci Al-Qur'an. Tidak mengherankan, sebab di antara kitab-kitab suci, Al-Qur'an merupakan satu-satunya yang dengan tegas menyatakan dirinya bersih dari keraguan (laa rayba fiihi), dijamin keseluruhannya (wa innaa lahuu la-haafizhuun), dan tiada tandingannya. Lebih dari itu, Al-Qur'an ibarat kompas pedoman arah dan penunjuk jalan, laksana obor penerang dalam kegelapan.
Yang membuat kalangan non-Muslim (khususnya "orientalis-missionaris" Yahudi dan Kristen)
geram sekaligus hasad (dengki) adalah fakta bahwa dalam soal yang satu ini pun--yakni
tentang keaslian, kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur'an sebagai Kalaamullah-seluruh Umat Islam sepakat dan sependapat dari dulu sampai sekarang, dari Maroko sampai Merauke.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang Yahudi dan Kristen memang tak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi Umat Islam agar mengikuti langkah mereka. Mereka ingin Umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan : menggugat, mempersoalkan ataupun mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sah dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif,
orientalis-missionaris ini biasanya "berkedok" sebagai pakar (scholars/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur,
baik yang 'jauh' (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang 'dekat' (Near Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia). Orientalis dan Al-Qur'an Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)." Mengapa missionaris satu ini menyerukan hal demikian? Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh
kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel.
Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias 'aspal'.
Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wah{yu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland dalam "The Text of the New Testament" (1995), mengatakan; "Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively.” St. Jerome juga dikatakan mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang “wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own.” Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau Umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (“…the ‘textus receptus’ to be abandoned altogether”!). Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil ‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892). Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pada 1834 di Leipzig, seorang orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai "tadarrus" oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Qur'an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks Al-Qur'an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bertungkus-lumus (bekerja keras) mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur'an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur'an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.
Bagi para orientalis ini, ‘isnaad’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ‘shaadh’ bisa saja dianggap ‘sahih’, yang ‘aahaad’ dan ‘ghariib’ bisa saja menjadi ‘mutawaatir’ dan ‘mashhuur’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Yang demikian itu merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang ‘trivial’. Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaaniq” dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur'an secara kronologis, mau "mengoreksi" bahasa Al-Qur'an ataupun ingin merubah redaksi ayat-ayat tertentu. Kajian orientalis terhadap Al-Qur'an tidak sebatas mempersoalkan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Al-Qur'an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut—seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain)—maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jaahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur'an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan ‘miring’ seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya suufi, Reynold A. Nicholson. Kata Nicholson, “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur'an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings—largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur'an, apalagi sampai membuat mereka murtad. Khayalan Orientalis Al-Qur'an merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan siirah dan sunnah Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa-sallam. Mereka mempertanyakan status kenabian Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco-konco-nya. Karena itu mereka sibuk untuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam khususnya, dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi ‘Isa alaihimas salam (a.s). Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol. Kalau ada upaya pencarian ‘Jesus historis’, mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah tentang Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam? Maka Arthur Jeffery pun menulis The Quest of the Historical Mohammad, di mana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam sebagai “kepala perampok” (robber chief). Diteruskan kemudian oleh F.E. Peters, dan belum lama ini oleh orang dengan nama samaran “Ibn Warraaq.” Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat : “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.” Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian mereka terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk hadits; mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wasallam wafat, artinya bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematis (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman al-Daulah al-Abbaasiyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang otentik, sementara sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya. Orientalis-missionaris ini inginkan umat Islam membuang tuntunan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Yesus. Otentisitas Al-Qur'an Kembali ke masalah otentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Qur'an adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin; to recite from memory).” Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’. Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini. Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel. Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur'an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka lantas mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Syamsuddin Arief, PhD, lulusan ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, peneliti INSISTS, dan tengah mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya. Tulisan ini diambil dari Jurnal Kajian Pemikiran Islam AL-INSAN Vol. 1 Tahun I, Jakarta
::BACK TO HOME::
|