|
Selamatkan Masyarakat Kita dari Fatwa yang Berdasar Hawa
Nafs
Oleh: Ust. Hartono Ahmad Jaiz
AlDakwah.org--Lontaran-lontaran nyeleneh (aneh) yang membahayakan bagi
Islam yang biasa keluar dari mulut orang JIL (Jaringan Islam Liberal), Paramadina,
dan oknum UIN (Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, kini sudah lebih
maju lagi. Bukan sekadar lontaran nyeleneh, namun praktek nyeleneh secara resmi
pun diupacarakan. Di antaranya adalah upacara pernikahan Ahmad Nurcholish (27
th, Muslim) dengan Ang Mei Yong, (24 Tahun, Konghucu) di Yayasan Paramadina
Jakarta, pimpinan Dr Nurcholish Madjid.
Pernikahan Mei Menuai Kontroversi
Gatra, JARUM jam menunjukkan pukul 09.30, ketika Ahmad Nurcholish, 27 tahun,
yang memakai setelan jas warna hitam, menggandeng Ang Mei Yong, 24 tahun, yang
bergaun pengantin warna putih. Mereka memasuki ruangan di Islamic Study Center
Paramadina, di kompleks Pondok Indah Plaza, Jalan Tb. Simatupang, Jakarta Selatan.
Sekitar 50 orang hadir dalam acara tersebut. Mereka adalah orangtua pasangan
Nurcholish-Mei, kerabat, dan para undangan.
Di antara mereka tampak Ulil Abshar-Abdalla, koordinator Jaringan Islam
Liberal, dan Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia (Matakin). (berita
lengkap)
Ulil, JIL, Kiprah dan "Fatwanya"
Peristiwa itu berkait berkelindan dengan "fatwa-fatwa" Ulil Abshar
Abdalla, kiprah JIL, Paramadina, dan oknum UIN dalam menyebarkan faham yang
membahayakan Islam. Mari kita runtut sejenak, agar terbuka gambaran seberapa
jauh kesibukan mereka dalam hal merusak Islam. Seolah mereka tidak ada capek-capeknya.
Dengan adanya hasil di antaranya pernikahan silang antara muslim dengan musyrikat
itu, tampaknya mereka lebih sibuk lagi. Namun sebelumnya mari kita runtut dari
beberapa waktu belakangan ini.
Ulil Abshar Abdalla kordinator Jaringan Islam Liberal (menurut orang-orang di
FUUI Bandung: jaringan iblis laknatullah, lihat Harian Pikiran Rakyat Bandung,
20 Maret 2003) mempersoalkan, kenapa dirinya dikritik orang. Bahkan dia tidak
terima, kenapa orang justru mengkritik dia (Ulil), tidak mengkritik saya (Hartono).
Hingga Ulil mengatakan kepada sebuah majalah terbitan Jakarta, kenapa Hartono
Ahmad Jaiz itu tidak dikritik, apakah karena sudah ketahuan jeleknya, sehingga
tidak dikritik?
Di lain kesempatan, Ulil juga menyebut-nyebut bahwa dia menulis di koran Kompas
yang dia akui vulgar itu hanya mengimbangi orang-orang seperti Hartono, Adian
Husaini dan lainnya, yang istilah balaghohnya musyakalah (mengimbangi). Sehingga
sama sekali Ulil tidak menyesali tulisannya yang banyak dihujat orang itu, malahan
diterus-teruskan, sampai mengemukakan di suatu majalah bahwa Vodca (minuman
beralkohol lebih dari 16%, pen) boleh jadi di Rusia dihalalkan karena di sana
udaranya dingin sekali.
Terlepas dari hal-hal itu, ada sesuatu yang menjadikan tanda tanya. Sehari
sebelum tulisan Ulil yang menghebohkan, berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam, muncul di Harian Kompas Senin 18 November 2002, Ulil telah mengemukakannya
di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta, dalam Dialog Ramadhan
1423H yang diselenggarakan para mahasiswa UGM yang tergabung dalam Jama'ah Salahuddin.
Kata Ulil, besok (yaitu hari Senin 18/11 2002) akan keluar tulisannya di Kompas.
Maka dia uraikan isi tulisannya itu. Saat itulah Ulil saya bantah ungkapan-ungkapannya
langsung di depannya. Karena ia menganggap bahwa hukum Islam seperti jilbab,
qishosh, hudud dan semacamnya yang sifatnya mu'amalah itu tidak usah diikuti.
Al-hamdulillah, saya sempat menyebutnya bahwa teori yang ia kemukakan itu hanyalah
teori Nicollo Machiavelli yang dikenal menghalalkan segala cara, dan teori Anthrophocentrism
yang menjadikan manusia sebagai sentral pertimbangan. Dan ini pada hakekatnya
adalah teori Ibliscentrism, yaitu sudah ada perintah Allah, namun perintah itu
disanggah dengan menjadikan diri Iblis sebagai ukurannya.
Saya katakan, orang Yahudi saja ketika mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad
saw maka mereka menyepakati, apabila ada perselisihan pendapat hendaknya kembali
kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan As-Sunnah), yang hal itu dicantumkan
dalam Piagama Madinah. Apakah Anda yang Muslim malah lebih dari Yahudi?
Tampaknya pertanyaan saya itu oleh Ulil dicarikan jawabnya, lalu dikemukakan
dalam diskusi di lembaga yang dipimpin Nurcholish Madjid yaitu Paramadina Jakarta,
8 Februari 2003. Di sana Ulil menganggap, rujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah
seperti yang difahami ummat Islam itu sebagai penyembahan terhadap teks.
Ulil melontarkan istilah penyembahan terhadap teks itu merujuk kepada ungkapan
orang kafir. Ini. agak berbeda dengan Pak Munawir Sjadzali ketika jadi menteri
agama RI 1983-1993 merujuk kasus yang sama kepada seorang tokoh di Pakistan.
Baik yang merujuk langsung kepada tokoh kafir maupun tokoh sekuler semuanya
sama, yakni mengkotak-katik Al-Qur'an dan As-Sunnah agar tidak diberlakukan
lagi.
Banyak ulama, tokoh Islam, dan kaum Muslimin yang tersentak bahkan tersinggung
dan marah-berat ketika membaca tulisan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan
Islam Liberal) di Harian Kompas 18 November 2002 / Ramadhan 1423H yang berjudul
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam itu.
Artikel itu menghantam Islam dan ummat Islam secara semaunya. Arahnya adalah
pluralisme agama, menyamakan Islam agama Tauhid dengan agama-agama lain yang
berseberangan bahkan bertentangan dengan Tauhid, yaitu syirik, menyekutukan
Allah swt dengan selain-Nya. Resiko dari keberanian menyejajarkan agama Tauhid
dengan kemusyrikan itu sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla "memfatwakan"
tidak berlakunya lagi larangan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan non
Muslim. Dia karang-karang bahwa larangan atau keharamannya dalam Al-Qur'an tidak
jelas. Lebih dari itu, seluruh hukum dalam Al-Qur'an yang menyangkut mu'amalah
(pergaulan antar manusia) tidak perlu diikuti lagi di zaman modern ini. Sehingga
Ulil Abshar Abdalla menegas-negaskan hawa nafsunya berkali-kali bahwa dia tidak
percaya adanya hukum Tuhan.
Lelaki Muslim Menikahi Wanita Konghuchu di Paramadina
"Fatwa" Ulil di Kompas yang mengacak-acak hukum Allah itu dia demonstrasikan
pula secara nyata-nyata. Yaitu Ulil Abshar Abdalla menjadi salah satu pengundang
dalam acara pernikahan lelaki Muslim dengan wanita Konghucu di Yayasan Paramadina
(Islamic Study Center Paramadina Pondok Indah Plaza III Blok F 5-7 Jl TB Simatupang)
Jakarta yang berlangsung Ahad 8 Juni 2003.
Pagi Itu akad nikah cara Islam. Pengantin lelakinya bernama Ahmad Nurcholish,
perempuannya Ang Mei Yong. Walinya diserahkan kepada Dr Kausar Azhari Noer dosen
tasawuf di UIN (Universitas Negeri Jakarta) dan beberapa perguruan tinggi, dan
pengajar di Paramadina.
Sedang di antara saksinya adalah Ulil Abshar Abdalla. Sorenya, akad nikah cara
Islam itu entah belum dianggap cukup atau bagaimana, kemudian diadakan upacara
Liep Gwan (model Konghucu), di Sekretariat MATAKIN Komplek Royal Sunter Blok
F 23 Jl Danau Sunter Selatan Jakarta Utara. Surat undangan yang diedarkan tertera
nama-nama yang turut mengundang yaitu: Dr H Zainun Kamal MA (dosen UIN Jakarta),
Ulil Abshar Abdalla -JIL, dan Munawar MA Sag. Dicantumkan pula dalam undangan
bahwa Dr Zainun Kamal yang akan menyampaikan khutbah nikah.
Rupanya Ulil mengambil kesempatan secara maksimum (kemaruk?), dimulai dengan
berperan sebagai orang yang turut mengundang dalam pernikahan beda agama seperti
yang dia "fatwakan". Lalu tidak cukup hanya jadi pengundang, namun
dia juga jadi saksi dalam upacara akad nikah. Lalu masih merasa belum cukup
pula, maka mewawancarai Ahmad Nurcholish dan Mei Yong kemudian dimuat di situs
islamlib.com.
Masih belum cukup pula, maka mewawancarai Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar
Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber
Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta yang intinya menyudutkan para ulama yang mengharamkan
pernikahan Muslim dengan non Muslim. Penyudutan terhadap ulama itu hanya dengan
dalih hasil penelitiannya tentang anak-anak hasil pernikahan beda agama, katanya
lebih banyak yang ikut ke Islam. Dengan modal "fakta" seperti itu,
dosen UIN Jakarta itu berani-beraninya menyalahkan ulama, bahkan pada hakekatnya
menyalahkan Al-Qur'an, firman Allah. Terlalu canggih memang, Ulil dalam membawakan
urusan beginian.
Barangkali saja Ulil masih penasaran juga kalau dirinya belum menikahi perempuan
musyrik kafir atau anaknya dinikahi oleh lelaki musyrik kafir. Karena walaupun
"fatwanya" itu manjur, namun tentunya bukan saja untuk orang lain.
Sebagaimana dia tentu hafal (walau sudah tidak ingat lagi riwayat siapa, mungkin)
ungkapan Ibda' binafsik, mulailah dengan dirimu sendiri (Hadits riwayat An-Nasa'I).
Ini ternyata yang memulai menikahi wanita kafir musyrik adalah Ahmad Nurcholish
yang tahun lalu (2002) selaku pengurus YISC Al-Azhar Jakarta mengundang Ulil
Abshar Abdalla untuk duduk bersama (berbantah) dengan saya (Hartono) dan juga
Haidar Bagir. Coba saja Ulil waktu itu (Mei 2002) langsung "berfatwa"
tentang nikah, tidak usah ditunda sampai November 2002, atau langsung Ulil contohi,
maka kemanjurannya mungkin lebih cepat lagi. Dan tidak usah capek-capek sampai
mengejar-ngejar dosen UIN untuk diwawancarai. Jadi lebih efisien.
Dan lebih efisien lagi kalau Ulil menikahi sekaligus empat wanita dari empat
jenis yaitu musyrik, kafir, murtad, dan zindiq (tidak mempercayai Allah, tak
percaya hukum/ aturan Allah, namun tempo-tempo menampakkan dirinya sebagai orang
beriman). Atau kalau khawatir disindir rekannya karena poligami, Ulil bisa juga
menjadwalkan satu persatu. Misalnya yang musyrik dulu, nanti ganti yang kafir,
ganti lagi yang murtad, dan terakhir yang zindiq. Terserahlah. Untuk efisien-efisienan,
saya tidak perlu mengajari. Semuanya tentu sudah terprogram rapi. Dan juga stocknya
kan banyak. Kalau hanya mencari yang empat jenis itu tidak sulit-sulit amat.
Baik yang lama maupun yang baru. Misalnya yang murtadnya baru, itu justru masih
mudah diwawancarai guna mengukur seberapa keberhasilan selama ini.
Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam
Pertentangan dan pergulatan antara perusak Islam dengan yang mempertahankannya,
baik secara prosedural maupun perasaan tampaknya tetap berlangsung. Hanya saja,
perusakan terhadap Islam senantiasa dilancarkan, karena Ulil dan para pendukungnya
yaitu para pengusung perusakan Islam tetap bekerja siang malam karena sudah
ada rasa kelegaan, merasa terlindungi, dan punya sarana yang banyak macamnya,
serta banyak dana. Islam dijadikan sasaran untuk dipreteli satu persatu agar
habis. Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sehingga Muslimin
mengikuti agama mereka (lihat QS Al-Baqarah: 120) maka antek-antek Yahudi dan
Nasrani yang mengaku Muslim tidak rela apabila Islam masih utuh seperti apa
adanya. Mereka berupaya keras demi mengikuti kemauan bossnya, maka dipreteli
dan dikelupas lah Islam ini, sehingga lepas satu-persatu, tidak tersisa lagi.
Hingga Islam tinggal namanya, Al-Qur'an tinggal gambar hurufnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Pastilah tali-tali Islam akan dilepaskan satu demi satu tali, maka ketika
terlepas satu tali lalu manusia berpegangan dengan yang berikutnya. Yang pertama
lepas adalah al-hukmu (hukum, pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat."
(HR Ahmad, hasan).
"Hampir datang pada manusia suatu zaman (di mana) tidak tersisa dari Islam
kecuali namanya, dan tidak tersisa dari Al-Qur'an kecuali tulisannya. Masjid-masjid
mereka ramai tetapi keropos dari petunjuk. Ulama mereka adalah seburuk-buruk
orang di bawah kolong langit… (HR Al-baihaqi dalam Syu'abul Iman juz 2,
halaman 311).
Perusakan terhadap Islam adalah satu kemunkaran yang sangat puncak. Tanpa ada
perusakan pun, orang-orang yang mampu untuk menyiarkan dan mendakwahkan Islam
maka wajib mendakwahkannya. Sehingga, lepasnya unsur-unsur Islam seperti yang
disebutkan dalam hadits tersebut, tanpa dilancarkan oleh orang-orang tertentu
dengan program yang disusun rapi pun, ummat Islam ini sebenarnya wajib mempertahankan
Islamnya. Apalagi dalam kasus ini perusakan dan pemretelan terhadap Islam itu
justru diprogramkan, didanai, dan dilaksanakan secara sitematis; maka kewajiban
untuk mempertahankan Islam di sini lebih mutlak wajibnya. Meskipun demikian,
untuk melaksanakan kewajiban mempertahankan Islam dalam kasus ini pun memerlukan
perangkat. Di antara perangkat yang paling utama adalah pemahaman Islam secara
memadai dan benar. Karena, tanpa memiliki kemampuan memahami Islam secara memadai
dan benar, maka menghadapi syubhat-syubhat (kesamaran-kesamaran) dan kata-kata
sampah yang disasarkan untuk mempreteli Islam itu bisa jadi justru menambah
kerancuan pemahaman. Akibatnya, pemahaman justru akan rusak, carut marut dan
makin jauh dari Islam, alias ikut pula mempreteli Islam tanpa disadari. Padahal
kalau gerakan sistematis perusakan pemahaman Islam ini dibiarkan, yang terjadi
adalah proses pembusukan pemahaman Islam secara sitematis yang menuju kepada
rusaknya seluruh sisi pemahaman Islam.
Ulil Abshar Abdalla telah kelewat batas. Lontaran-lontaran Ulil yang merupakan
olahan dari sampah-sampah berbahaya yang ia kais-kais dari tokoh-tokoh sekuler,
Islam kiri, orientalis, kafirin, tasawuf sesat, liberal, dan mereka yang berfaham
pluralisme agama alias mensejajarkan semua agama, jelas merusak pemahaman Islam
yang sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan penjelasan para ulama yang bermanhaj
salaful ummah.
Inti ajaran Ulil, menyejajarkan bualan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Inti dari lontaran sampah yang dibualkan Ulil adalah agar dalam mengatur kehidupan
modern ini Al-Qur'an tidak dijadikan pedoman, apalagi As-Sunnah. Justru yang
dijadikan pedoman adalah apa yang ia sebut pengalaman manusia, dengan alasan
bahwa Tuhan telah memuliakan (takrim) kepada manusia. Kalau untuk mengatur kehidupan
modern ini masih merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti yang tertulis
dalam teks, maka Ulil menganggapnya sebagai penyembahan terhadap teks. Ulil
menginginkan agar apa yang ia sebut penyembahan teks itu dicari jalan keluarnya,
di antaranya adalah menjadikan pengalaman manusia ini kedudukannya sejajar dengan
Al-Qur'an, sehingga Al-Qur'an yang berupa teks itu hanyalah separoh dari Al-Qur'an,
dan yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia. Itulah yang dimaui Ulil.
Kalau kemauan Ulil itu diikuti, maka dia sendiri tertabrak oleh bikinan dia
sendiri, yaitu dia sama dengan menginginkan agar jangan hanya menyembah teks
tetapi sembah juga pengalaman manusia. Ujung-ujungnya, dia sendiri menyembah
pikirannya sendiri, yaitu pikirannya yang menginginkan adanya penyembahan model
yang ia lontarkan.
Ulil berguru kepada Romo Katolik di antaranya Frans Magnis Suseno SJ di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Akibatnya menjadi orang nyeleneh. Lontaran
Ulil berputar pada kisaran duga-duga yang jauh dari kebenaran, dan ketika dikemukakan
ke masyarakat umum menjadi wabah penyakit aqidah. Sebenarnya semua itu menurut
istilah Al-Qur'an hanyalah mengikuti orang-orang kafir terdahulu. Guru yang
mengajari Ulil itu keyakinannya telah disinyalir oleh Al-Qur'an sebagai orang-orang
yang hanya menirukan orang-orang kafir terdahulu. Lantas Ulil yang mengolah
pemahaman di antaranya dari gurunya itu, terjebak dalam kisaran yang disebut
dalam Al-Qur'an sebagai orang yang menuhankan hawa nafsunya. Itulah kunci rahasianya.
Aqidah orang yang mengikuti kafirin terdahulu disebut dalam Al-Qur'an, yang
artinya:
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani
berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS At-Taubah:
30).
Setelah berguru kepada orang yang keyakinannya menirukan kafirin terdahulu,
jadilah orang yang menciptakan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Kalau sudah demikian,
maka peringatan Allah swt perlu dijadikan pertimbangan benar-benar, ytang artinya:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jatsiyah: 23).
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al-Qashash: 50).
Allah SWT telah memberikan peringatan setegas itu. Kenyataan telah membuktikan,
orang yang berguru kepada tokoh yang keyakinannya menirukan orang-orang kafir
terdahulu, maka ketika si murid itu pada gilirannya mengajarkan ajarannya itu
kepada umum didukunglah oleh kelompok-kelompok kafirin dari Barat dan Timur
serta wadya balanya dan antek-anteknya.
Itulah Ulil yang telah berguru kepada intelektual kafir. Demikian pula tokoh-tokoh
lain yang berguru kepada kafirin di Barat dalam apa yang disebut "belajar
Islam" ke Barat, yang kini mereka mengajar di UIN, IAIN-IAIN, Perguruan
Tinggi Islam Swasta se-Indonesia, dan di lembaga-lembaga Islam.
Mereka adalah penerus Snouck Hurgronje, Van der Plas, atau bahkan Gatoloco
dan Darmo Gandul. (Tentu saja ada juga yang shalih, tidak dinafikan). Jadi dari
Barat diambil faham pluralisme agamanya (menyamakan semua agama), sedang dari
tasawuf sesat diambil wihdatul adyan (menyamakan semua agama)nya, dan dari Gatoloco-
Darmogandul diambil kebengalannya dalam meledek Islam. Jadilah sosok-sosok perusak
Islam yang sangat berbahaya, sambil bekerja sama-sama dengan pihak yang gencar
mengadakan pemurtadan. Astaghfirullaahal 'adhiem… Na'udzubillaahi min dzaalik!
Media Dakwah Agustus 2004/ Jumadil Akhir 1424H
::BACK TO HOME::
|
|