Mengapa Kita Menolak Sekularisme?
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
1. Pengertian Sekularisme
Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner
berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang
ini” (the present age). Kemudian dalam perspektif religius saeculum
dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan
dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh
setan.*1)
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan
istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan
dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.*2)
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin
atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam
Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious
faith and worship.”
(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan
dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into
the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki
fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).*3)
Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama
dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yakni pemisahan agama dari
segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama
dari negara dan politik.*4)
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam,
sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa
sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan
kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan
keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan,
harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.
Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya
Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari
keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.
Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut
campur dalam pengaturan urusan masyarakat.*5) Jadi, agama tetap diakui
eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan
privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah,
ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni
interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi,
sosial, dan sebagainya.*6)
2. Sekularisme: Asas Ideologi Kapitalisme
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran
menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan
kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban
Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanschauung)
bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah,
yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati
posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah
asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam
ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem
pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan
sebagainya.*7)
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi
kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama
sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas
lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang
mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang
menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri.
Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power
(sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus
sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).*8)
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa
kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna,
baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik
kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah
al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan
berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah
at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir
sistem ekonomi kapitalisme.*9)
3. Kritik Atas Sekularisme
Umat Islam wajib menolak sekularisme, paling tidak karena 4 (empat) alasan
berikut, yaitu:
Pertama, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.
Dengan kata lain, sekularisme tidak sejalan dengan akal (nalar) sehat manusia.
tapi lebih didasarkan pada sikap jalan tengah.
Kedua, sekularisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, karena
sekulerisme menempatkan manusia pada posisi Tuhan yang Maha berkuasa untuk
mengatur kehidupan manusia yang sedemikian kompleks. Padahal manusia adalah
makhluk yang lemah untuk bisa mengatur kehidupan manusia.
Ketiga, sekularisme telah melahirkan berbagai ide yang gagal
dalam praktik yang malah menimbulkan penderitaan pedih pada manusia, misalkan
ide demokrasi dan ekonomi kapitalisme.
Keempat, sekularisme bertentangan dengan Islam.
Argumen pertama hingga ketiga, adalah berupa dalil-dalil yang rasional (dalil
aqli). Sedang argumen keempat, adalah berupa dalil-dalil naqli (dalil
syar’i).
3.1. Sekularisme Tidak Memuaskan Akal
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al
Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil
proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan
oleh logika sehat.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan
tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua
pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh
gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M),
misalnya Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome, untuk
menundukkan segala urusan kehidupan menurut ketentuan agama Katolik. Sedangkan
yang kedua, adalah ide sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan
Tuhan dan agama. Mereka itu misalnya Machiavelli (w. 1527 ) dan Michael
Mountaigne (w. 1592). Contoh lainnya adalah Nietzsche (w. 1778) yang
menyatakan, “Orang liberal harus mengakui, bahwa tuhan telah mati (God is
dead)”.*10) Ludwig Feurbach (w. 1872) misalnya, menyatakan bahwa, “God
is man, and man is God.” (Tuhan itu sebenarnya adalah manusia, dan manusia
itu adalah Tuhan). Feurbach juga menyatakan, “Religion is the dream of
human mind.” (Agama adalah impian dari pikiran manusia).*11)
Walhasil, ide sekularisme merupakan jalan tengah di antara dua sisi ide
ekstrem tadi, yakni ide yang mengharuskan ketundukan pada agama secara mutlak,
dan ide yang menolak eksistensi agama juga secara mutlak. Penyelesaian jalan
tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda
(tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak
mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Yang mustahil
diselesaikan dengan jalan tengah. Jadi, sekularisme, bisa diumpamakan jalan
tengah dari dua ide yang tidak mungkin dicari titik tengahnya. Misalkan, di
satu sisi kita katakan, “Saat ini saya ada di ruang ini.” Sedang di
sisi lain, “Saat ini saya tidak ada di ruang ini.” Mungkinkah ada jalan
tengah di antara dua ide yang sangat bertolak belakang ini? Jika ada jalan
tengahnya, jelas ide itu tidak masuk akal.
Jadi, jelaslah bahwa sekularisme adalah jalan tengah di antara
pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan
tengah. Maka dari itu, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.
3.2. Sekularisme Tidak Sesuai Fitrah Manusia
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001)
mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud
secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas
pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia
terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada
manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu
berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur
aktivitasnya.
Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di
Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia
diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan
hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara
lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana
(KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak
belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal
284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau
perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.”
Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus
suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang
dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication),
tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan
binatang (bestiality).*12)
Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga
berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan
sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan
fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau
berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama
dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain,
menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah
bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal
dilihat dari segi fitrah manusia.
3.3. Sekularisme Melahirkan Ide Gagal Dan Membahayakan Manusia
Sekularisme antara lain melahirkan ide demokrasi dan sistem ekonomi
kapitalisme. Dalam praktiknya secara empiris, kedua ide ini telah gagal.
Tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru
menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan
dan memilukan. Mari kita lihat data-datanya.
A. Kegagalan Demokrasi
Demokrasi yang merupakan anak kandung sekularisme, sebenarnya lebih banyak
menyajikan ilusi dan tragedi yang mengerikan daripada kemaslahatan dan
kebaikan umat manusia. Di AS sendiri, demokrasi telah menemui kegagalannya
yang tragis.
AS yang oleh Alexis de Tocqueiville sebagai “guru” demokrasi kini sangat jauh
dari demokrasi. Harian AS USA Today (25/4/2003) lalu melaporkan, AS kini tak
sepatutnya lagi mengklaim diri sebagai negara paling demokrastis. Mengapa?
Karena berkaitan dengan invasi AS ke Irak, sejumlah kasus menunjukkan AS tidak
demokratis justru di negaranya sendiri.*13) Sebagai catatan, demo yang
menentang invasi AS itu hingga 15 Pebruari 2003 setidaknya mencapai 15 juta
orang di 600 kota di seluruh dunia. Tapi semua upaya yang konon demokratis itu
menemui kegagalan justru karena sikap AS yang mengabaikan aspirasi dunia
seraya tetap ngotot untuk menghancurkan Irak.
Yang lebih gila lagi, seperti dicatat Johan Galtung, intervensi AS ke Irak itu
adalah yang ke-69 sejak 1945, dan yang ke-238 sejak Thomas Jefferson pada
tahun 1804 mengawali perangnya terhadap kaum muslimin yang dulu disebut
sebagai “perompak” dan kini disebut Libya. Sejak tahun 1945 itu tercatat 12
hingga 16 juta manusia terbunuh. Dan sejak tahun 1947, telah tewas sebanyak 6
juta jiwa karena ulah CIA.
Dan itu belum berakhir, sebab Wakil Presiden Dick Cheney mengumumkan, masih
akan ada perang-perang lain yang menurut data BBC akan mencapai 60 negara.
JINSA (Institut Yahudi untuk Urusan Keamanan Nasional) di Washington memiliki
rencana perubahan rezim pemerintahan di 22 negara Arab.*14)
Itulah wajah nyata dari demokrasi. Ide demokrasi yang muluk-muluk seperti
egalitarian (kesetaraaan), keadilan, toleransi, dan sebagainya hanyalah
utopia. Demokrasi telah gagal. Gagal.
B. Kegagalan Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung sekularisme.
Prinsip-prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan
bebas, mekanisme pasar, dan sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia.
Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh mereka yang kuat. Sedangkan
mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan,
keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan,
baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Berikut sekilas data-datanya*15):
-Kemiskinan dan Kesenjangan
Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang
hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada
tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk
dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara
1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan
1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun
1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The
United Nations Human Development Report, 1999).
Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah
rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa
distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin
di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya
di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The
Economist, 2001).
Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara
terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini
menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001).
Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat
hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun
dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat
ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap
tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril
Lynch-Cap Gemini, 2001).
Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah
dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya
lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder
meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan
lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human
Development Report, 1999).
Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa,
sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja.
(The United Nations Human Development Report, 1999).
-Kelaparan & Kekurangan Gizi
Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya
kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai.
(Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001).
Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih
dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara-negara maju), sementara
perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara-negara
berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju
pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah
terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994).
Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di
negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang
mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization,
1998).
Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor
gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan
nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy,
Backgrounder, Spring 1998).
Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan
serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali
lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New
Straits of Malaysia Times, 2001).
Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang
dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu,
pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa
memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
(US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999).
Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan
bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar
orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia
akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of
Agriculture, Food Security Asessment, 1999).
Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta
anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta
menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita
dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia
Times, 2001).
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan
wabah kelaparan. (Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The
Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).
Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat
penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme.
Masihkah kita percaya pada kapitalisme? Pada sekularisme?
3.4.Sekularisme Bertentangan Dengan Islam
Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan secara dalil aqli, seperti
diuraikan sebelumnya, juga dapat didasarkan pada dalil naqli, yaitu ditinjau
dari segi-segi berikut:
A. Sekularisme Adalah Ide Kufur
Sekularisme adalah ide kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan
Allah.*16) Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan
pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari
dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maa'idah
[5]: 44).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum
kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
untuk mengingkari thaghut itu…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 60).
B.Sekularisme Bertentangan Dengan Khilafah
Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep
Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan
Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan
negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak
mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat
Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi,
hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada
pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila
dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda
Rasulullah SAW:
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada
Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].*17)
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah.
Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah—
telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh
tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”*18)
Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut
sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika
sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara
pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling
mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi
pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda
Rasulullah :
[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]
“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah.
Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR.
Ath Thabrani].*19)
Sabda Rasulullah SAW:
[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat
‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu
wa aakhiruhunna ash sholaatu]
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali
satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang
berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah
pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].*20)
C. Umat Islam Menyerupai Kaum Kafir (tasyabbuh bi al kuffar)
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama
Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system
of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori,
yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara).
Disebutkan dalam Injil:
“"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah
kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21).
Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan
paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan
norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang
Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan
sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious
regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah
melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan
ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan
Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan
raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat
(excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan
lain-lain.*21)
Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima
sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara.
Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima
paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau
kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat
Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah
terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi
al kuffar).
Sabda Rasulullah SAW:
[man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum]
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum
tersebut.” [HR. Abu Dawud].*22)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits
ini:
“Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai
(tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut
menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...”*23)
Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya,
maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang
Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.*24) (Nauzhu billah min
dzalik!)
4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sekularime wajib ditolak
oleh kaum muslimin, karena sekularisme tidak masuk akal, tidak sesuai fitrah
manusia, melahirkan kemudharatan dalam praktiknya, serta bertentangan dengan
Islam.
Sekularisme adalah ide kufur yang wajib dihancurkan oleh kaum muslimin.
Sekulerisme adalah thaghut yang kita telah diperintahkan untuk mengingkari
thaghut itu. Sekulerisme wajib dihapuskan dari muka bumi, dalam segala bentuk
dan manifestasinya. [ ]
Catatan Kaki:
1. Lihat Larry E. Shinner, “The Concept of Secularization in Empirical
Research”, dalam William M. Newman, The Social Meanings of Religion, (Chicago
: Rand McNally College Publishing Company, 1974), hal. 304-324.
2. Lihat Eric S. Waterhouse, “Secularism”, Encyclopedia of Religion and
Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921), hal. 347-350.
3. Lihat “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no.
10, (http://www.islaam.com.)
4. Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam,
(Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah, 1980), hal. 73.
5. Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar
Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).
6. Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Islam, 2001, hal.28.
7. Ustadz Hafizh Shalih, “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah,
(Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988), hal. 64-88; Ahmad Athiyat, “Ar
Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li
Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996),
hal.91-94.
8. Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001, hal.27.
9. Lihat Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.
10. Ahmad Athiyat, Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li
Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal. 121.
11. Adnin Armas, Menelusuri Jejak Sekularisasi, hal. 1, makalah Workshop
Pemikiran dan Peradaban Islam, Jakarta, 27-29 Pebruari 2004.
12. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,
2003), hlm. 84; lihat juga Dadang Kusmayadi & Pambudi Utomo, “Hukum Indonesia
Menghalalkan Zina”
http://www.hidayatullah.com/2001/06/khusus1.shtml; Topo Santoso, “Nasib
Kartini dan TKI”, Media Indonesia, Senin 13 Maret 2000, hlm. 8.
13. Suparman & S. Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika,
(Yogyakarta : UII Press, 2003), hal. ix.
14. Ibid.
15. Sumber Data : The International Forum on Globalization, Globalisasi
Kemiskinan dan Ketimpangan, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
2003).
16. Muhammad Khayr Haikal, Al Jihad wal Qital fi Asy Siyasah Asy Syar’iyah,
(Beirut : Darul Bayariq, 1996), I/131.
17. Hadits Shahih. Sahih Muslim, III/340, hadits. No. 1851.
18. Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/308.
19. Abdurrahman Al Baghdadi,. “Al Khulafa` Alladzina Hakamu Al ‘Alama fi
Jami’i Ushuril Islam”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H /
Januari 1995), hal. 14.
20. Abdurrahman Al Baghdadi, “Dzikra Hadmil Khilafah Al Islamiyah : Taqwidhul
Khilafah Al Islamiyah”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H /
Januari 1996), hal.13.
21. Yusuf Al Qaradhawi, Al Hulul Al Mustawradah wa Kayfa Ja`at ‘Ala Ummatina,
hal. 113-114.
22. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Lihat Ash Shan’ani, Subulus Salam,
IV/175.
23. Ali Belhaj, Ad Damghah Al Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, hal.
19.
24. Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.
hayatulislam.net - Publikasi 25/04/2004