Pluralisme
Agama
Pluralisme
muncul sarat muatan politis, yang tak lebih sebagai respons politis terhadap
kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat perlakuan dikriminatif dari gereja
(tulisan pertama)
Oleh: Anis
Malik Thoha*
Menelusuri
lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan
Protestanistik yang kini digandrungi sebagian kaum Muslimin
Proses
liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern,
semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca:
penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada
gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Sejak
era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi,
dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling
privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak
cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru
yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM
seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan
HAM. Oleh karenanya agama harus
mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut
bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi
yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses
liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang
pluralistik yang dikenal dengan pluralisme politik".
Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang
menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan
sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai
pluralisme agama
Pluralisme,
Gagasan Protestanistik
Paham
liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya,
termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma
politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama
itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political
pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political
liberalism).
Jelas,
faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial
masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan
mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih
terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada
abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat itu,
hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat
secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur
masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan
dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami
sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan
heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir
abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika
Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).
Ada
pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga
dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang
mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain
Kristen.
Jadi,
gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis
dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi
pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen
pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan
Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich
Schleiermacher.
Memasuki
abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran
filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih,
seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di
antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas
Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara
argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk
Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang
memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka
bumi ini beragam dan tidak tunggal.
Ada
lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis
dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith.
Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model
keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan
global.
Gagasan
serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam
karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World
Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada,
Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A
World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep
teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi
agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan
harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan
pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End
of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).
Dua
dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase
kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran
tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan
antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau
bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.
Dalam
kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh
beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya
lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick
telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian
rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan
populer.
Hick
menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human
Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial
kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya
sebelumnya.
Ternyata,
fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan
reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang
Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan
Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap
berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan hingga
akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.
Wabah
Pluralisme dalam Islam
Dalam
wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan
tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan
pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses
penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat
ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana
pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi
muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat
sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Dalam waktu
yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan
menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya
pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan
Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Karya-karya
mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of
Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau
gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana
pluralisme agama.
Barangkali
Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, adalah tokoh yang
paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di
kalangan Islam tradisional. Suatu prestasi; yang kemudian
mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi
selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie
Schimmel.
Nasr mencoba
menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau
perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau ;kebenaran
abadi). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan
metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan
tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam
alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan
melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga
memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu
kebenaran hakiki yang abadi.
Perbedaan
antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit
luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak
jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini
mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya
sebagai basis dari bangunan pemikirannya?
Saat
ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini
menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan
hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan
kelestariannya, meniscayakan adanya semacam legitimasi relijius, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai
suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern
yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya,
liberalisme.
Obsesi
Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak
dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun
militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme.
Semua harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan
Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu.* (Bersambung)
(*Dosen Ilmu
Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia)
Tulisan ini
diambil dari rubrik "Tsaqafah", Majalah Hidayatullah, edisi Agustus
2004