[-Melawan Fitnah-]
JARINGAN IBLIS LIBERAL

 

 

KELOMPOK LIBERAL ITU AGEN PENJAJAH


KH. M. Shiddiq al-Jawi:
Saat ini di tengah kita muncul kelompok liberal. Mereka menyerukan ide-ide liberal yang dibungkus dengan nama Islam. Tidak jarang mereka mengutip dalil dan pernyataan para ulama untuk mendukung ide mereka. Hal itu akan dapat membingungkan umat dan bisa membawa mereka ke alam pemikiran liberal. Namun, sayang, sebagian dari umat masih belum menyadari bahaya itu, dan belum mengenali jatidiri, motif, tujuan dan hal-hal berkaitan dengan kalangan liberal dan agenda mereka.

Untuk mengupas masalah ini, kami menghadirkan wawancara singkat dengan KH. M. Shiddiq al-Jawi, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY.

Ustadz, belakangan muncul kelompok liberal semisal JIL yang getol menyerukan ide-ide liberalisasi Islam. Bagaimana Ustadz memandang fenomena ini?

Menurut saya, fenomena ini harus dipandang dari dua sisi, sisi ideologis dan politis. Secara ideologis, kaum liberal bertujuan menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat. Ini dari perspektif ideologis. Kalau dari sisi politis, JIL dan semacamnya adalah alat politik Barat untuk mendominasi umat Islam. Mengapa bisa begitu? Sebab, faktanya, kekuatan politik yang mendominasi dunia adalah Barat yang sekular, sedangkan JIL itu kan ideologinya juga sekular. Klop, kan? Kesamaan ideologi ini jelas akan memunculkan kesamaan visi, misi, dan agenda. Di posisi ini kaum liberal itu sebenarnya adalah agen penjajah. Mengapa? Sebab, penjajah selalu ingin agar umat Islam mengikuti Barat dalam segala hal. Tapi, itu sulit terjadi karena bagaimanapun merosotnya, umat Islam masih tidak mau mempraktikkan sesuatu kalau tidak mendapat pengesahan agama. Maka di sinilah, kaum liberal datang untuk membujuk umat agar mau mengikuti peradaban Barat itu, dengan memperalat agama Islam sebagai landasan pembenarannya. Itulah kerjaan kaum liberal.

Mengapa bisa muncul kelompok semacam ini di tengah-tengah umat ini, Ustadz?

Masyarakat kita sekarang ini kan cenderung sekular dan liberal. Maka kalau ‘habitat’-nya demikian, wajar kalau lahir kaum liberal. Maksud saya, dalam konteks sekarang, kemunculan kelompok liberal justru banyak difasilitasi dan dipicu oleh sistem yang ada, seperti sistem politik, ekonomi, dan pendidikan. Semuanya adalah impor dari Barat sekular. Masalahnya, semua sistem itu tak akan bisa berjalan baik tanpa budaya yang sekular juga. Nah, yang ada dalam sistem-sistem itu baru prosedur formalnya, tanpa budaya sekularnya. Di sinilah kaum liberal lalu lahir guna menanamkan budaya sekular agar sistem sekular itu bisa berjalan baik. Dalam bahasa mereka, sekarang ini yang ada baru ‘demokrasi prosedural’ semisal tahapan Pemilu, belum disertai ‘demokrasi substansial’ seperti kebebasan berpendapat. Nah, kaum liberal ingin agar sistem sekular yang ada menjadi kâffah, yaitu bukan sekular sebatas prosedur formal, tapi juga disertai budayanya. Itulah hakikat demokratisasi yang jadi tujuan mereka.

Dalam sejarah, untuk menghancurkan Khilafah dan menghadang Islam, Barat sering menggunakan antek-antek mereka dari kalangan kaum Muslim sendiri. Apakah kemunculan kelompok Muslim liberal ada hubungannya dengan makar Barat itu, Ustadz?

Hubungannya jelas ada. Begini. Pada prinsipnya, kan Barat itu punya satu metode khas untuk menyebarkan ideologinya di negeri-negeri Islam, yaitu penjajahan; bisa militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Setelah menjajah, mereka mengeksploitasi. Itu pasti. Untuk masing-masing bidang penjajahan itu, Barat punya agennya sendiri-sendiri dari kalangan umat Islam yang berkhianat. Nah, kaum liberal itu adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang bergerak di bidang pemikiran atau ideologi. Tujuannya adalah menghancurkan Islam di satu sisi dan memenangkan sekularisme di sisi lain.

Ada penelusuran dari sebagian pihak bahwa di balik fenomena Muslim liberal itu kental unsur uang (materi). Menurut Ustadz, apa motif mereka?

Saya kira benar. Konon draft CLD KHI dibiayai The Asia Foundation sebesar Rp 6 miliar. JIL sendiri mendapat support dana The Asia Foundation sebesar Rp 14 miliar pertahun. Jadi, ada simbiose mutualisme di sini. Sebab, Barat itu kan ingin mensekularkan umat Islam. Lagi pula, mereka punya banyak uang hasil dari mengeksploitasi umat Islam. Tapi, saya kira, uang bukan satu-satunya motif. Ada motif lainnya, semisal motif ketenaran, motif ilmiah, dan mungkin, motif spiritual. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan, JIL ingin mewujudkan “sekularisme yang mantap dan spiritual yang kokoh.” Saya pikir, ini cukup menggelikan dan agak gila. Sebab, spiritualitas macam apa yang bisa diwujudkan dalam tatanan sekularisme? Di Barat yang sekular saja banyak kaum muda yang tidak pernah ke gereja.

Menurut saya, motif utama kaum Muslim liberal itu adalah motif ideologis. Sebab, ideologi Kapitalisme sekular tampaknya memang telah merasuk ke dalam jiwa mereka. Contohnya isu sekularisme. Kaum liberal sangat fanatik dan tergila-gila dengan sekularisme. Bahkan, di situs mereka dikatakan bahwa sekularisme itu berkah bagi agama-agama, karena, katanya, sekularisme bisa meredakan berbagai ekses jika agama dan negara menyatu. Padahal setelah menjadi sekular, Barat tidak menjadi lebih baik. Sains dan teknologi Barat memang lebih maju. Akan tetapi, secara moral, apa lebih baik? Secara spiritual, apa lebih hebat? Nggak, kan. Setelah ada sekularisme, dunia makin mengerikan dan hancur-hancuran, karena ada imperialisme, Perang Dunia I dan II, pemboman Hiroshima dan Nagasaki, dan sekarang kebijakan unilateral (satu kutub, red.) AS yang arogan di Afghanistan dan Irak. Apa itu lebih baik? Kaum liberal pura-pura tak tahu semua itu, dan karena fanatik, seenaknya berkata, “Sekularisme berkah bagi agama.” Nah, fanatisme yang ekstrem terhadap sekularisme inilah yang hendak mereka tularkan kepada generasi muda Islam. Saya lihat ini motif utamanya.


Apakah mereka itu sudah bisa dikategorikan pengemban ide Barat dan ideologi Kapitalisme, Ustadz?

Saya kira, benar. Mereka bisa digolongkan sebagai pengemban ideologi Kapitalisme, bukan pengemban ideologi Islam. Islam hanya dijadikan ‘kosmetik luar’ saja. Di bagian dalamnya adalah ideologi Barat. Jadi, segala macam pemikiran kaum liberal harus dikategorikan sebagai pemikiran bukan Islam. Sangat tidak betul kalau ada anggapan ide-ide mereka merupakan bagian dari khazanah pemikiran atau pemahaman Islam. Sebab, berbagai mazhab atau aliran dalam Islam, walau pun berbeda-beda pemahaman cabangnya, tetap sepakat akan hal-hal pokok dalam akidah dan syariat Islam. Kaum liberal seperti JIL tidak sepakat. Dalam masalah akidah, mereka mengadopsi teologi inklusif yang mengatakan semua agama benar. Apa itu masih bisa dianggap akidah Islam? Dalam hal syariat Islam, JIL secara ekstrem dan sombong mengatakan, syariat Islam itu tidak ada. Syariah hanya karangan ulama belaka, atau yang ada hanya sunnatullah (hukum alam, red.). Subhanallâh...Coba, apa ada mazhab yang menolak eksistensi syariat Islam seperti itu? Nggak ada, kan?


Ustadz, ada dari mereka yang alumni pesantren, Perguruan Tinggi Islam, bahkan sebagian mereka lulusan Timur-Tengah, di antaranya Al-Azhar. Menurut Ustadz, mengapa mereka bisa terpeleset seperti itu?

Dalam hal ini, kaum liberal memang ada yang sebelumnya mempunyai pengetahuan Islam yang luas. Ilmu kalam, fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan macam-macam lah. Tapi, semua itu dipelajari secara dogmatis, tanpa daya pikir kritis, dan cenderung dalam bentuk hapalan. Akibatnya, hati sebenarnya tidak puas. Sebaliknya, ketika bersentuhan dengan ide Barat, mereka memikirkannya secara sadar, tahu benar berbagai argumentasinya, latar belakangnya, dan seterusnya; lalu mereka mengadopsinya secara sepenuh hati. Maka di sinilah, mereka terpeleset. Lalu terjerembab.


Apakah ada yang salah dalam proses pembelajaran Islam mereka? Lalu proses pembelajaran Islam itu seharusnya bagaimana, Ustadz?

Ya, ada yang salah. Sebab, mereka menerima Islam bukan secara rasional, tetapi secara dogmatis. Ketika belajar Islam, proses berpikir yang cerdas tidak difungsikan. Mungkin karena literatur Islam yang mereka baca tidak cukup argumentatif. Sebaliknya, mereka menerima ideologi Barat secara sadar, melalui proses berpikir yang rasional. Menurut saya, pembelajaran Islam harus memenuhi 3 aspek. Pertama, harus rasional, maksudnya pengkajian materi ajaran Islam harus melibatkan proses berpikir bagi pengkajinya, bukan bersifat dogmatis atau doktriner. Kedua, harus ada pembenaran terhadap materi yang dikaji itu. Artinya, materi yang dikaji hendaknya menjadi keyakinan, bukan sekadar pengetahuan. Ketiga, materi yang dikaji harus praktis, bukan teoretis yang tidak ada faktanya dalam kenyataan empiris.


Menurut Ustadz, keberadaan kelompok Muslim liberal itu bermanfaat atau justru berbahaya bagi umat?

Mungkin pertanyaan yang tepat begini: seberapa jauhkah bahaya kelompok liberal bagi umat? Begitu. Jadi, tidak relevan membicarakan manfaat kaum liberal bagi umat. Sebab, apa manfaatnya ide-ide mereka yang justru hendak menghancurkan akidah dan syariat Islam? Nggak ada, kan? Pemikiran mereka itu seperti ‘kanker ganas’ dalam tubuh umat Islam. Kanker itu sangat berbahaya, nggak ada gunanya sama sekali.


Lalu bagaimana kita meng-counter pemikiran kalangan liberal dan ide-ide mereka itu?

Untuk menghadapi mereka, saya pikir ada dua langkah. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat. Intinya, ide mereka dalam satu masalah harus dibongkar kebobrokannya, dan di sisi lain harus dijelaskan bagaimana konsep Islam yang sahih dalam masalah itu. Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk membongkar posisi mereka sebagai antek-antek penjajah yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan mengokohkan sekularisme di Dunia Islam. Umat harus tahu dan sadar, kaum liberal itu bergerak untuk kepentingan penjajah, bukan demi kemaslahatan Islam. Kalau kaum liberal mengklaim mereka hendak memajukan Islam dan umat Islam, itu adalah omong-kosong dan hanya bualan saja. Dengan dua langkah itu, umat akan tahu apa dan bagaimana pemikiran kaum liberal itu, sekaligus tahu siapa-siapa mereka itu. Dengan begitu, umat bisa memblokir ide-ide mereka, dan mengucilkan para pengembannya. Dua langkah tersebut harus kita lakukan sejak sekarang.


Bagaimana kita menyelesaikan masalah ini secara tuntas, Ustadz?

Agar tuntas, dua langkah tadi harus ditambah satu lagi, yaitu jalur hukum (al-qadhâ‘). Maksudnya, jalur peradilan dalam negara Khilafah nantinya. Kalau mereka tidak mau berhenti, mereka bisa diadukan kepada hakim sebagai komplotan yang menyebarkan kekafiran, mengajak orang murtad, dan berkolaborator dengan penjajah. Peradilan nanti yang akan mengambil sanksi tegas atas mereka.


Biodata:
M. Shiddiq Al-Jawi, lahir di Grobogan (Jateng) 31 Mei 1969. Setelah lulus SMA 1 Pekalongan 1988, beliau masuk IPB tanpa test (PMDK). Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Imdad (1989-1991) dan Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor (1992-1994). Pada periode 1990-1991 beliau menjadi Ketua Umum Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB. Setelah lulus IPB 1997, beliau terjun di bidang pendidikan, penulisan, dan penerjemahan. Pada 1997-1998 dan 1999-2000 beliau menjadi staf pengajar almamaternya; Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor. Sejak tahun 1999 menjadi staf peneliti Shariah Economic and Management (SEM) Institute Jakarta. Beliau telah menghasilkan sekitar 150 artikel keislaman, 4 buku, 10 karya terjemahan, dan 5 karya editan. Saat ini bekerja sebagai dosen STEI Hamfara dan LPI (Lembaga Pendidikan Insani) Yogyakarta, sambil menyelesaikan tesis pada program pascasarjana Magister Studi Islam UII, Yogyakarta. Di HTI, ia menjadi Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY. Beliau menikah dengan Ir. Lusiani Udjianita dan dikaruniai dua anak: Atina Fahma Rosyada dan Fauzi Saifurrahman. (HT Hiwar Al-Waie 58)
 

 

::BACK TO HOME::