|
Muhammad Mustafa al-A'zami: Mereka Ketakutan Pada Al-Quran
SPESIALIS penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu
tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, guru
besar ilmu hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A'zami
mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun
kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.
Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas
Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), secara
akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz
Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset
Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi
Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah bikinan umat Islam
abad kedua Hijriah.
Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain,
termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960,
tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori
"proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua
Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah
rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.
Saking kuatnya pengaruh Goldziher-Schacht, sejumlah pemikir muslim juga menyerap
tesisnya, seluruh atau sebagian. Seperti A.A.A. Fyzee, hakim muslim di Bombay,
India, dan Fazlur Rahman, pemikir neomodernis asal Pakistan yang cukup populer
di Indonesia. Definisi hadis ala Goldziher-Schacht berbeda dengan keyakinan umum
umat Islam. Bahwa hadis adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi yang telah
diuji akurasinya oleh para ulama hadis seperti Bukhari dan Muslim.
Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar
ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid
saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah
disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan
hadis." Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari,
Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu
secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi.
A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph
Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi
Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air. Murid
A'zami di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub, berperan banyak memopulerkan
pikiran ulama kelahiran India itu.
Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i
pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan
argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada masa kini," kata Ali
Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis' karena
berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari
Nabi."
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi
lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis yang
menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The
History of The Qur'anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan dengan
sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran,"
kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.
Sabtu pekan lalu, A'zami meluncurkan versi Indonesia buku itu dalam Pameran Buku
Islam di Istora, Senayan Jakarta.bersama pakar Quran dan hadis lainnya. Prof.
Kamal Hasan, dalam pengantar buku itu, menilai karya A'zami ini relevan untuk
meng-counter maraknya buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Mohammad
Arkoun di Indonesia.
Wartawan Gatra Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Nordin Hidayat,
Ahad lalu, bertemu A'zami di Hotel Sahid Jakarta. Berikut petikan percakapan
mereka:
Apa yang mendorong Anda menggeser objek studi dari hadis ke Al-Quran?
Al-Quran dan hadis keduanya pegangan penting seorang muslim. Keduanya sama-sama
berasal dari Allah SWT. Selain itu, kini orang-orang Barat, para orientalis,
banyak mengkaji Al-Quran sekehendak mereka. Mereka begitu ketakutan pada
Al-Quran. Bagi mereka, Al-Quran seperti bom. Karena itu, mereka ingin ada proses
peraguan (tasykik) atas kebenaran Al-Quran.
Studi orientalis generasi lama memang antipati pada Islam. Namun ada
penilaian, arah kajian mereka akhir-akhir ini makin membaik: makin apresiatif
dan empati pada Islam.
Apanya yang membaik? Bila Anda hendak menyimpulkan, jangan dari fakta parsial.
Anda harus menyimpulkan dari keseluruhan fakta. Masih ada orientalis yang
menulis sejarah Nabi dan mengatakan bahwa musuh terbesar manusia di dunia adalah
Muhammad, Al-Quran, dan pedangnya Muhammad.
Dan problem mendasar kajian orientalis, mereka memulai kajiannya dengan tidak
mempercayai Nabi Muhammad. Kita mengatakan, Muhammad adalah Nabi dan Rasul
Allah. Menurut mereka, itu bohong besar. Jadi, mereka mengawali pembahasan
dengan dasar pikiran bahwa Muhammad adalah pembohong, bukan rasul sebenarnya.
Mungkinkah mengkaji Islam semata-mata untuk tujuan studi, tanpa tujuan dan
bekal keimanan, sebagaimana kaum orientalis?
Tidak mungkin. Agama apa saja, pada kenyataannya, sulit sekali mengkajinya
tanpa keimanan. Kita lebih mudah mengkaji dan memahami Yahudi dan Kristen,
karena kita percaya dan menghormati Musa, Harun, Maryam, dan Isa. Sementara
orang Yahudi dan Nasrani tidak bisa memahami Islam, karena mereka mendustakan
dan tak beriman pada Muhammad.
Bila Anda baca tulisan orang Yahudi tentang Isa dan Maryam, Anda akan temukan
ungkapan mereka sangat kotor dan menjijikkan. Ada yang menuding Isa telah
berzina tiga kali. Kalau penulisnya muslim, tidak mungkin bilang begitu.
Haram! Karena kita memuliakan para nabi terdahulu. Persoalannya, berapa banyak
orang Islam yang mau mengkaji lebih jauh tentang keyakinan Yahudi dan Nasrani?
Sedangkan mereka sangat intens melakukan kajian tentang Islam.
Benarkah buku Anda sebagai counter atas corak kajian Al-Quran ala pemikir
semacam Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan Arkoun yang populer di Indonesia?
Ini bukan counter langsung. Tapi ada hal penting yang
harus digarisbawahi di sini bahwa otoritas menafsirkan Al-Quran ada di tangan
Rasulullah. Kita percaya, Al-Quran berasal dari Allah dan diturunkan
pada Muhammad. Allah berfirman, "Dan kami turunkan Al-Quran pada kamu agar kamu
jelaskan pada manusia." Sama saja, bila ada problem konstitusi di Indonesia,
misalnya, maka yang berwenang membuat interpretasi adalah para hakim Indonesia.
Meski meraih gelar doktor di Universitas Cambridge, saya tidak punya otoritas
menyelesaikan problem konstitusi di Indonesia.
Jadi, kalau ada orang berpikir liberal, lalu menafsirkan perintah salat dalam
Al-Quran semaunya, tidak mengindahkan tuntunan Rasul sebagai penafsir yang
mendapat mandat dari Allah, maka saya katakan, "Siapa Anda? Siapa yang
memberi Anda otoritas membuat tafsir sendiri?"
Orang-orang seperti Hassan Hanafi dan Abu Zayd itu adalah "anak-cucu" Barat.
Tak perlu meng-counter langsung mereka. Kecuali kalau terpaksa. Saya sebenarnya
tidak peduli pada pemikiran-pemikiran mereka. Saya ingin membentuk pandangan
saya sendiri.
Dalam pandangan Anda, apa yang membuat beberapa pemikir muslim menyerap
pengaruh Barat? Tidakkah karena kekuatan argumentasi Barat?
Persoalan pokok sebenarnya adalah soal iman.
Dari berbagai informasi, sangat nyata kebanyakan dari mereka adalah fasik
(banyak berbuat dosa) dan sedikit sekali yang religius (mutadayyin). Mereka
tidak puasa dan tidak salat. Ketika bulan Ramadan, subuh mereka
bangun, makan pagi, tapi ketika magrib, ikut berbuka bersama lainnya, malamnya
juga ikut sahur, ha, ha, ha....
Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zeid misalnya, tidak belajar di sekolah-sekolah Barat.
Tapi pemikiran mereka seperti mewakili pemikiran Barat. Mungkinkah?
Tentu. Karena buku-buku kajian mereka berasal dari Barat. Tapi Nasr Abu Zeid
pernah belajar secara khusus di Jepang.
Kami pernah mengulas buku Prof. Christhop Luxenberg (nama samaran) yang
berkesimpulan, bahasa asli Al-Quran adalah Aramaik, jadi yang beredar sekarang
Quran palsu. Komentar Anda?
Ah, dia pemikir bodoh. Beberapa penulis mengomentari bahwa pengetahuannya
tentang bahasa Syiriya-Aramaik sangat dangkal. Kata dia, Al-Quran berasal dari
bahasa Aramaik, kemudian setelah 100 tahun beralih ke bahasa Arab. Sehingga
disebut Quran kondisional. Itu sama sekali bukan kajian ilmiah.
Apakah pemikiran Chistof ilmiah atau tidak?
Tidak. Sama sekali jauh dari pemikiran ilmiah…
Apakah ini merupakan salah satu cara dari para orientalis untuk merusak umat
Islam?
Itu nggak ada artinya. Tapi sekarang beberapa kali dan akan berkali-kali, mereka
menginginkan bahwa ketika Al-Quran dibuat tidak ada titik dan tasydid. Nah,
sekarang mereka menginginkan agar Al-Quran diperbarui dari sisi titik dan
tasydid-nya. Lalu, membacanya seperti yang kita kehendaki, memberi tanda-baca
baru, dan menjadikannya baru. Al-Quran lalu menjadi Al-Quran sesuai kebutuhan
(kondisional).
Apakah mereka juga memiliki kaidah dasar untuk membuat Al-Quran kondisional
tersebut?
Kaidahnya ya sekehendak hati mereka. Karena mereka memberi tanda baca sesuai
kebutuhan mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan produk budaya. Apa
komentar Anda?
Itu pendapat Nasr Abu Zeid. Tapi apa yang sebenarnya disebut produk budaya? Ini
tak ubahnya ketika orang menyebut “terorisme”. Semua berbicara terrorism. Tapi
tidak pernah ada satu pun definisi yang muttafaq alaihi tentang terorisme.
Terorisme justru kerap dikaitkan dengan Islam. Kita perlu memahami apa
pengertiannya dulu.
Dalam hal ini, apakah pengertian produk budaya sama dengan asbabun nuzul
(memahami Quran secara kontekstual)?
Tidak (sama). Memahami Quran secara kontekstual bisa dilakukan, jika “sesuatu”
mempunyai kaitan dengan asbabun nuzul, tapi tak bisa diterapkan di semua tempat.
Kecuali di beberapa tempat khusus yang merupakan sebab turunnya (ayat). Jadi,
Anda tak bisa datang dan langsung mengatakan aqiimus shalat. Padahal di sana
tidak ada asbabun nuzul, karena di sana adalah amr (perintah). Seharusnya,
sebelum itu ada sebab. Allah adalah pencipta seluruh makhluk. Tentunya Dia tahu
mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi makhluk-Nya.
Jangan bermain dengan Api! Tidak ada …konteks di sini. Tidak hanya berlaku
sekarang tapi selamanya.
Ini wacana yang elit. Apa hal penting dari buku Anda bagi orang-orang awam?
Saya tak bisa mengemukakan sesuatu untuk semua orang. Jadi saya sudah kepikiran
untuk menulis buku baru, yang bisa dibaca dan dipahami oleh semua ummat Islam.
Anda pernah belajar dan lulus dari sebuah universitas di Barat. Tapi sikap
anda tampak konservatif, dalam arti tidak liberal orang-orang seperti Hassan
Hanafi atau Nasr Abu Zeid. Mengapa?
No! Saya kira ini pertanyaan dan persoalan tentang iman. Ha…ha..ha…
Menurut anda, apa yang salah dengan Barat?
Apa yang salah dengan Barat adalah sikap (attitude)-nya.
Apa tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini?
Kitalah sesungguhnya tantangan terbesarnya. Karena kita tidak mempraktekkannya.
Man ghassa falaisa minna. “Barangsiapa yang menipu tidak termasuk golongan
kami”. Kalau anda mengambil hadis dan mengujinya di dalam kehidupan (Adzami
memberi contoh, bagaimana ia menemukan seorang penjual susu yang menempelkan
hadis ini di atas tokonya, tapi ternyata ia menambah air dalam susu yang
dijualnya). Meskipun Anda percaya Al-Quran dan Hadis, tapi dalam praktek
kehidupan kita kita jauh dari sunnah. Ini salah satu kesulitan kita. Kalau kita
menjadi good practicse-nya moslem. Saya tidak bicara tentang Islamisasi ilmu di
sini. Tapi saya ingin menegaskan bahwa pengetahuan di Islam masih sangat jauh
dari praktek. Islam itu sebenarnya pratek, bukan teori.
[Agama, Gatra Nomor 22 Beredar 11 April 2005]
::BACK TO HOME::
|
|