|
Orientalis dan Studi Alquran
Adnin Armas
Kandidat Doktor di ISTAC, Malaysia
Mun'im A Sirry dan Pradana Boy telah menanggapi tulisan saya di Republika
(01-04-2005) yang berjudul Selamat Datang, Profesor Azami!. Ketika
mengkritik Prof Azami, Mun'im menulis bahwa bagi mereka yang sempat membaca
karya-karya Barat tentang studi Alquran, walaupun tidak mendalam, tentu akan
merasa aneh jika tidak menyebut Richard Bell, Montgomery Watt, Toshihiko Izutsu,
Alford Welch, Daniel Madigan, atau Kenneth Cragg yang banyak menulis karya-karya
simpatik tentang Alquran. Pernyataan Mun'im tersebut telah membelokkan masalah
yang sebenarnya.
Bukan pakar
Prof Azami dalam karyanya memfokuskan kajiannya kepada perbandingan historisitas
Alquran, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam studi historisitas Alquran,
Azami telah membahas pendapat orientalis terkemuka dunia dalam sejarah Alquran
seperti Noldeke, Mingana, dan Jeffery.
Sedangkan orientalis yang disebutkan oleh Mun'im bukanlah orientalis terkemuka
dalam studi sejarah Alquran. Judul buku Richard Bell dan Montgomery Watt
(Introduction to the Quran, 1970) saja sudah menunjukkan bahwa karya Bell dan
Watt adalah karya pengenalan kepada Alquran. Bell dan Watt hanya mengulangi
pendapat para orientalis sebelumnya. Pendapat Bell yang menganggap Mushaf Abu
Bakr RA adalah mushaf pribadi, misalnya, merupakan pengulangan dari pendapat
para orientalis sebelumnya seperti Noldeke, Caentani, Schwally, Mingana, Jeffery
dan lain-lain.
Mun'im juga tidak tepat ketika memasukkan nama Toshihiko Izutsu, Alford Welch,
Daniel Madigan, dan Kenneth Cragg dalam kritikannya kepada Azami. Sebabnya,
kesemua orientalis tersebut bukanlah sarjana apalagi pakar dalam studi sejarah
Alquran. Padahal, karya Azami adalah membahas sejarah Alquran.
Selain itu, Mun'im dengan mengutip pendapat Arkoun, menyayangkan kaum Muslim
karena mentashbihkan Mushaf Utsmani. Dalam pandangannya, para sahabat terkemuka
mengeluh dengan terwujudnya standartisasi Mushaf Utsmani. Kesimpulan Mun'im
terhadap Mushaf Usmani menunjukkan ketidaktahuannya tentang berbagai fakta dan
pendapat para sahabat yang telah menerima Mushaf Utsmani dengan sepenuh hati.
Mus'ab ibn Sa'd menyatakan bahwa tidak seorangpun dari Muhajirin, Ansar, dan
orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan Utsman RA. Ali bin Abi Talib
menyatakan, ''Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai
mushaf sebagaimana yang Utsman buat.'' Thabit ibn imarah al-Hanafi menyatakan
bahwa ia mendengar dari Ghanim ibn Qis al-Mazni yang menyatakan, ''Seandainya
Utsman belum menulis Mushaf, maka manusia akan mulai membaca puisi.''
Selanjutnya, Abu Majlaz mengatakan, ''Seandainya Utsman tidak menulis Alquran,
maka manusia kan terbiasa membaca puisi.'' (Lihat karya ibn Abi Daud Sulaiman
al-Sijistani, Kitab al-Masahif dan juga karya Abu 'Ubayd, Fadail Alqur'an).
Bahkan Abu Ubayd (224 H), sejak kurang lebih 1.200 tahun yang lalu, telah
menghimpun pernyataan beberapa sahabat mengenai Mushaf Utsmani dan menyimpulkan
bahwa hukumnya kafir bagi siapa yang mengingkari Mushaf Utsmani. Jadi, para
sahabat menyepakati tindakan Utsman untuk menghimpun Alquran. Kesepakatan
tersebut juga tercermin di dalam salah satu syarat sahnya sebuah qiraah, yaitu
harus sesuai dengan ortografi Mushaf Utsmani. Syarat ini merupakan ijma ulama.
Keraguan pada Bibel
Tanggapan kepada artikel Selamat Datang, Prof Azami! juga
dikemukakan oleh Pradana Boy. Dalam pandangannya, dialog antarkitab perlu
dilakukan secara akademis. Sebenarnya, pernyataan Pradana menunjukkan
ketidaktahuannya akan sejumlah permasalah mendasar dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Perjanjian Lama, misalnya, juga merupakan kitab yang sangat
tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan
misteri hingga kini.
Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis bahwa
hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri. (It
is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book
that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, The Book
of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of
Lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separuh Mazmur ditulis King David. Tetapi,
kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar.
The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia.
Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah
penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi.
Teks Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani Kuno yang pertama kali mendapat
sambutan di pasaran adalah edisi naskah yang diterbitkan pada tahun 1516 oleh
Desiderius Erasmus (1536). Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam
bahasa Yunani Kuno. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale
untuk menerjemahkan Bible dalam Bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525).
Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Yunani Kuno yang berbasis pada
teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi
Bible dalam bahasa Yunani Kuno. Dalam edisi Yunani Kuno ini dikenal istilah
Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun,
edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. (Lihat, Bruce M.
Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament, hlm xxii-xxiv). Jadi,
meskipun sekarang talah ada kanonisasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin
untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament.
Selain itu, para sarjana Bibel terkemuka seperti Karl Lachmann (1851), Lobegott
Friedrich Constantin von Tischendorf (1874), Samuel Prideaux Tregelles (1875),
Henry Alford (1871), Brooke Foss Westcott (1901), Bernhard Weiss (1918), Hermann
Freiherr von Soden (1914) telah meninggalkan Textus Receptus edisi Erasmus.
Menurut Johann Salomo Semler (1791), bagian-bagian dari Perjanjian Baru bukanlah
wahyu. Oleh sebab itu, menurut Semler, isi Perjanjian Baru tidak dapat diterima
sebagai otoritatif [Lihat Werner Georg Kummel, The New Testament: The History of
the Investigation of Its Problem (1972)].
Jadi, kalangan sarjana Bibel sendiri sudah menyimpulkan bahwa Bibel memuat
sejumlah permasalahan mendasar yang tidak mungkin untuk diselesaikan. Bibel
bukanlah sebuah kitab suci yang dipahami masyarakat Kristen awam. Studi kritis
Bibel (Biblical criticism) telah berkembang dengan begitu mapan. Kajian historis
terhadap Bibel yang telah dilakukan oleh para sarjana Bibel telah menunjukkan
bahwa teks resmi/teks standart Bibel sama sekali tidak bisa diterima.
Jadi, dialog mengenai sejarah Bibel perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh
kalangan sarjana Bibel, sebelum melakukan dialog antarkitab. Sebabnya, banyak
sarjana Kristen yang sudah pun menolak otentisitas Bibel. Jika sarjana Bible
sendiri menunjukkan begitu seriusnya problema yang dihadapi teks Bible, maka
sekarang sarjana dari kalangan Muslim yang mencoba-coba menyeret problema itu
untuk diaplikasikan dalam studi Alquran.
Pengaruh orientalis
Selain itu, baik Mun'im atau Pradana menyebutkan beberapa orientalis seperti
Watt, Madigan, Kenneth Cragg bersikap simpatik kepada Alquran. Padahal, Watt dan
Cragg tetap menyatakan bahwa Nabi Isa AS mati di tiang salib, suatu kepercayaan
yang secara diametral bertentangan dengan penjelasan Alquran. Sedangkan Madigan
berpendapat para sahabat melakukan bid'ah karena telah menghimpun Alquran ke
dalam sebuah kitab. Lebih jauh lagi, dalam pandangan Madigan, Alquran yang
dihimpun dalam sebuah kitab merupakan sumber dari faham fundamentalisme agama.
Sebenarnya, adalah hal yang normal dan bisa dipahami, bahwa para orientalis akan
selalu mengkritik Alquran. Sepanjang sejarah, sejak Leo III (741) sehingga abad
ke-21 ini, kajian orientalis terhadap Alquran selalu diwarnai dengan paradigma
Yahudi-Kristen. Mereka menggunakan metodologi Bibel untuk diterapkan kepada
Alquran. Mereka tidak akan menerima kebenaran Alquran. Jika mereka menerima
kebenaran Alquran, konsekwensinya mereka akan masuk Islam dan meninggalkan agama
mereka yang dengan sangat jelas disalahkan oleh Alquran.
Pendapat-pendapat yang menolak otentisitas Mushaf Utsmani telah dilakukan oleh
para ulama sepanjang masa. Abu 'Ubayd, misalnya, pada abad ke-2 H pernah
menyatakan, ''Usaha Utsman mengkodifikasi Alquran akan tetap dan sentiasa
dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar.
Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun
kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.''
(Lihat al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkam al-Quran, 1: 84).
Selain itu, Abu Bakr al-Anbari, pada abad ke-3 H telah menulis buku berjudul
al-Radd 'ala Man Khaalafa Mushaf Utsmaniy (Sanggahan Terhadap Orang yang
Menyangkal Mushaf Utsmani). (al-Qurthubi, 1:5). Begitu juga dengan al-Qurthubi,
pada abak ke-7 H, seorang ahli tafsir berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah
kitab tafsirnya menyediakan satu bab khusus tentang hujah dalam menyanggah orang
yang mencela Alquran dan menyangkal Mushaf Utsmani dengan [dakwaan] adanya
penambahan dan pengurangan. (al-Qurthubi, 1:80-86). Begitu juga dengan Prof
Azami, pada abad ke-21 ini.
Sarjana Muslim mestinya memiliki pendekatan tersendiri terhadap kajian
Alquran. Jika kita bersikap kritis maka kita harus terlebih dulu memiliki
cara-pandang seorang Muslim, bukan cara pandang yang netral atau cara pandang
yang cenderung dipengaruhi orientalis atau Islamolog Barat. Sebab ilmu itu
sendiri tidak netral. Selama ini kajian para orientalis lebih bersifat empiris
yang positivistik yang diwarnai oleh pandangan hidup Barat sekuler-liberal. Ini
menunjukkan krisis epistemologis yang serius. Wallahu a'lam. (RioL)
::BACK TO HOME::
|
|