[-Melawan Fitnah-]
JARINGAN IBLIS LIBERAL

 

 

AWAS..!! PROPAGANDA PEMURTADAN BERLABEL ISLAM

Counter Liberalisme Oleh : Fakta 05 May 2005 - 6:00 pm

Dengan label dan moto Islam yang disandangnya, secara rutin majalah Syir’ah menanamkan propaganda pemurtadan dan mempromosikan berbagai aktivitas dan gerakan Kelompok Liberal berkedok Islam. Radio 68H milik JIL hampir tidak pernah absen dari iklan di back cover Syir’ah.

Pentolan Jaringan Intelektual Muda Muham­madiyah (JIMM) yang pernah menghiasi cover depan Syir’ah adalah Ahmad Fuad Fanani. Pada edisi nomor 37, wajah Fuad Fanani tampil bareng bersama-sama dengan para liberalis lainnya, antara lain: Ahmad Baso, Yeny Wahid, Musdah Mulia –yang menggebrak umat Islam dengan KHI yang dinilai menyesatkan oleh mayoritas umat Islam– dan lain-lain.

Arah pijakan majalah yang didanai oleh founding Amerika ini, bisa ditebak dengan mudah. Bila terjadi polemik antara Islam dan Kristen, maka keber­piha­kannya tidak diarahkan kepada Islam. Bila mempubli­kasikan Yahudi dan Kristen, maka struktur dan gaya bahasanya diukir sedemikian terpuji penuh simpati. Tapi bila yang dipublikasikan itu Islam, maka gaya bahasanya sedemikian keras dan tajam menohok.

Fatwa-fatwa yang diusung oleh pengasuh rubrik Konsultasi Fiqh pun jelas mendukung perilaku murtad yang oleh Al-Qur‘an telah dikutuk dengan ancaman neraka.

Ketika memberitakan kaum Yahudi, Syir’ah menam­pilkan sisi kebaikan­nya serta-merta melupakan berbagai kejahatan dan kebiadabannya. Edisi nomor 32, Syir’ah memasang salah satu judul “Yahudi Pejuang Damai” di cover depan. Tulisan yang dimaksud adalah rubrik Mancanegara (hlm. 56-60) yang mengangkat bangsa Yahudi. Dalam rubrik itu, Yahudi disanjung sedemikian rupa dengan kalimat sinopsis: “Ulah kaum Yahudi identik dengan kekerasan. Padahal pelakunya hanya sebagian dari kelompok Zionis.”

Kalimat yang ditampilkan Syir’ah ini jelas bukan pandangan Islam, karena pernyataan tersebut bersinggungan balik dengan ayat Al-Qur‘an: “...Di antara mereka ada yang beriman dan keba­nya­kan me­reka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imran 110).

Un­tuk men­dukung ke­sim­pulan tulisannya bahwa Yahudi adalah pejuang damai, Syir’ah me­nam­pilkan bukti adanya 5 kelompok lintas agama yang diistilahkan oleh Syir’ah sebagai “Yahudi-yahudi berhati Mahatma Gandhi.” Menutup argumentasinya bahwa Yahudi adalah pejuang perdamaian, Syir’ah menyitir ayat Alkitab (Bibel) bagian Perjanjian Lama (Old Testament), yaitu kitab Deuteronomy 20:10-12. “Padahal, Yahudi dikenal sebagai agama yang menekankan perdamaian. Rukun ke-6 dari 10 Rukun Iman Yahudi menyebut, “Kamu tidak boleh membunuh,” tulis Syir’ah.

Kutipan ayat Bibel kitab Deuteronomy (kitab Ulangan) untuk menyatakan Yahudi sebagai pejuang (pahlawan) perdamaian, adalah bukti nyata bahwa Syir’ah sangat ceroboh dalam membaca kitab suci. Ayat yang dimaksud berbunyi demikian:

“Apabila engkau men­dekati suatu kota untuk berperang melawannya, maka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya. Apabila kota itu menerima tawaran perda­maian itu dan dibukanya pintu gerbang bagimu, maka haruslah semua orang yang terdapat di situ melakukan pekerjaan rodi bagimu dan menjadi hamba kepadamu.

Tetapi apabila kota itu tidak mau berdamai dengan engkau, melainkan meng­adakan pertempuran melawan engkau, maka haruslah engkau menge­pungnya.

Dan setelah Tuhan, Allahmu, menyerahkannya ke dalam tanganmu, maka haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang. Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di kota itu, yakni seluruh jarahan itu, boleh kau rampas bagimu sendiri, dan jarahan yang dari musuhmu ini, yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah­mu, boleh kau perguna­kan” (Ulangan 20:10-14).

Ayat ini jelas bukan mendorong perdamaian, tapi pemicu penjajahan, perbudakan dan pembunuhan terhadap negara lain yang lebih lemah. Tersebut jelas dalam ayat tersebut, bila suatu negara mau berdamai harus dijajah dengan pekerjaan rodi. Tapi jika negara tersebut tidak mau berdamai, maka harus dikepung sampai takluk. Jika negara tersebut sudah takluk, maka seluruh penduduknya yang laki-laki harus dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak harus dijadikan sebagai jarahan.

Perhatikan pula gaya bahasa yang dipakai Syir’ah untuk memberitakan komu­nitas Kristen. Guratan-guratan kalimatnya begitu indah penuh simpati. Dalam rubrik Mancanegara (Syir’ah No. 39, hlm. 62-64), Syir’ah meng­angkat kiprah gereja Sain­tologi di Aceh dengan tulisan berjudul “Dari Gereja, Bergerak Lintas Identitas.” Di sini Syir’ah memuji-muji kiprah Gereja Saintologi, salah satu sekte yang dianggap sebagai bidat oleh Protestan dan Katolik.

Ketika terjadi pro-kontra umat Islam dan Kristen tentang RUU Kerukunan Umat Beragama, Syir’ah malah berpihak ke kalangan Nasrani. Maka bulan Januari 2004 Syir’ah mengangkat tema utama “Kerukunan Dalam Bahaya”. Berita dan analisisnya pun jelas mendukung aspirasi umat Nasrani, dengan beberapa judul tulisan: “Urungkan RUU Kerukunan Umat Beragama” (hal. 16); “Aturan Kerukunan yang Mencakar” (hal. 18-22); “Akui yang Lima, Akui Selain yang Lima” (hal. 23-26); “Kerukunan Tak Bisa Didikte” (hal. 28-31), dan lain-lain.

Nuansa propaganda pemurtadan yang diusung majalah Syir’ah nampak mencolok pada edisi nomor 27 yang mengangkat tema “Pindah Agama Karena Hidayah.” Nampaknya, edisi ini sepenuhnya dipersem­bahkan untuk mendukung pemurtadan umat.

Dari opini redaksi (semacam rubrik editorial), sejak awal dikatakan, “Tak perlu panik karena pindah agama. Barangkali harus kita akui, orang Islam itu suka plin-plan... Kita tak perlu lagi mencemaskan seberapa besar orang keluar dari Islam. Yang kita cemaskan adalah seberapa parah Islam tak berdaya melahirkan keda­maian di masyarakat. Dan kita tak akan panik, meskipun orang berpindah-pindah agama sehari tiga kali, seperti minum obat” (hlm. 16).

Islam Diinjak-injak, Non Islam Dijunjung Tinggi


Kalau dicermati, dari struktur dan gaya bahasanya, kalimat di atas jelas bukan ucapan orang Islam, tapi ucapan yang keluar dari mulut orang non Islam, orang kafir atau orang munafik yang mempropagandakan anti Islam.

Kalau dibandingkan dengan pilihan kata ketika menulis tentang Yahudi dan Kristen di atas, jelas sekali betapa berat dan besarnya keberpihakan dan subjektivitas Syir’ah dalam menganakemaskan Yahudi dan Kristen, serta-merta menganaktirikan Islam.

Ketika melukiskan perilaku Yahudi, kalimat yang dipakai adalah: “Yahudi Pejuang Damai,” “Yahudi-yahudi berhati Mahatma Gandhi,” “Yahudi dikenal sebagai agama yang menekankan perdamaian,” dan sebagainya. Betapa agungnya pujian Syir’ah kepada Yahudi.

Tapi, ketika melukiskan Islam dan penganutnya, kalimat yang dipakai adalah: “Harus kita akui, orang Islam itu suka plin-plan,” “seberapa parah Islam tak berdaya melahirkan kedamaian di masyarakat,” “Biasanya para pemeluk agama menghindari perilaku haram itu. Akan tetapi, fenomena ini di kalangan mahasiswa Muslim tak begitu. Sebagian dari mereka bahkan menganggap seks bebas itu sudah biasa,” dan masih banyak lagi. Masya Allah! Betapa tengiknya caci-maki majalah Syir’ah yang ditujukan untuk agama Islam dan umat Islam.

Memang, begitulah keyakinan Syir’ah. Rusak!! Orang masuk Islam dengan orang keluar Islam (murtad), sama-sama dikatakan mendapat petunjuk (hidayah) Ilahi. “Isyarat Langit Menjelang Pindah Agama. Mereka pindah agama bukan karena disogok mi instan. Baik yang “murtad” maupun yang muallaf sama-sama berangkat dari petunjuk Ilahi.” (hlm. 18).

Padahal orang yang masuk Islam itu adalah orang yang mendapat petunjuk (hidayah) Allah. Sebaliknya, Al-Qur‘an surat An-Nisa 137 secara tegas dan jelas menyebutkan orang yang murtad tidak mendapat petunjuk (hidayah) Allah (lihat rubrik Tafsir “Kata Al-Qur‘an tentang Murtad”).

Mempertegas sikapnya terhadap murtad, Syir’ah berujar, “Kita tak akan panik, meskipun orang berpindah-pindah agama sehari tiga kali, seperti minum obat.” Untuk mendukung sikapnya itu, Syir’ah menampilkan pengalaman rohani Piet Hasbullah Khaidir, mantan Ketua Umum PP IMM 2001-2003, yang kini menjadi anggota presidium Jaringan Intelektual Muda Muham­madiyah (JIMM). Diberitakan bahwa dia pindah iman sebanyak tiga kali dari Budha, Katolik bahkan Atheis. Ketika Tabligh mewawancarai, Piet membantah. “Saya sangat dirugikan betul dengan pem­beritaan itu. Karena wartawan Syir’ah tidak memahami konteks pem­bicaraan saya. Saya hanya menanggalkan “iman” sebentar untuk menyelami agama lain. Karena saya kuliah di jurusan akidah filsafat yang salah satu materinya adalah perban­dingan agama,” bantahnya.

Anehnya, sampai sekarang Piet tak mengguna­kan hak jawabnya dengan memberikan bantahan kepada Syir’ah tentang kemurtadan dirinya. Ketika Masyhud dan Abu Mumtaz dari Surabaya mewawancarai Mujtaba Hamdi, Pemimpin Redaksi Syir’ah, dengan tenang dia menjelaskan bahwa sampai sekarang kami belum pernah menerima komplain dari yang bersang­kutan. “Kalau berita kami salah, kami tunggu sang­gahan dan hak jawab Piet Haidar,” tantangnya.

Para aktivis persyarikatan Muhammadiyah berharap agar informasi Syir’ah tentang kemurtadan mantan ketua IMM ini tidak benar. Sebab berita ini sungguh mencoreng muka kader persyarikatan. “Seharusnya Piet Haidir membantah pemberitaan Syir’ah, jika berita itu salah. Ini penting, demi nama baik kita semua,” ujar seorang mubaligh Muhammadiyah dalam perbincangannya dengan Tabligh di Masjid At-Taqwa PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu.

Terakhir, dalam rubrik Konsultasi Fiqh (Syir’ah No. 39, hlm. 84-85), Abdul Moqset Ghazali, menjawab pertanyaan tentang hukum pindah agama (murtad). Seorang ibu bertanya perihal anaknya yang berencana akan pindah agama mening­galkan Islam. Menurut pen­je­lasan penanya, anaknya yang sedang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah dalam Islam karena termakan isu tero­risme akhir-akhir ini. “Bagai­mana pandangan fikih Islam menyangkut perpindahan agama ini?” tanya ibu Fatimah, pembaca Syir’ah.

Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Abdul Moqset Ghazali menge­muka­kan tiga ayat Al-Qur‘an, yaitu: surat Al-Kafirun 6 “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dinukum waliyadin), surat Al-Kahfi 29 “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah, dan barangsiapa yang ingin kafir maka kafirlah” (faman sya’a falyu’min, faman sya’a falyakfur), dan Al-Baqarah 256 “Tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (la ikraha fid-din).

Setelah mengutip ayat tersebut, Abdul Moqset menjelaskan, “Ayat-ayat di atas cukup jelas, bahwa manusia tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh kepada manusia untuk ber­iman atau tidak beriman, beragama Islam atau tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya, maka lebih-lebih orang tua terhadap anaknya.”

Kemudian Abdul Moqset menyimpulkan, “Namun, sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah ke agama lain, maka tidak ada pilihan lain kecuali bahwa Ibu Fatimah mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain itu. Sesuai dengan perintah Al-Qur`an di atas, tidak boleh ada pemaksaan menyangkut perkara agama.”

Betapa lancangnya orang yang mengaku Ustadz dari Madura ini. Dengan gegabah disimpulkan bahwa surat Al-Kafirun 6, Al-Kahfi 29 dan Al-Baqarah 256 memerintahkan umat Islam untuk meng­ikhlaskan seseorang (anak, istri, suami, ayah, ibu, saudara, kerabat dan seterusnya) jika mau murtad meninggalkan Islam.

Kesesatan fatwa kiyai pengasuh Syir’ah ini dibongkar lebih lanjut oleh Buya Risman, pengasuh Biro Konsultasi Agama MTDK PP Muhammadiyah. Menurutnya, ketiga ayat tersebut jika dibaca utuh, menjelaskan prinsip Islam bahwa pilihan agama yang benar itu adalah masuk agama Islam yang disertai dengan menjauhi kesesatan dan kekafiran. (baca rubrik Konsultasi Agama halaman 20-21).

Secara tidak langsung, anjuran Kiyai Syir’ah agar bersedia mengikhlashkan orang yang murtad ke agama lain, sama artinya dengan menyarankan agar meng­ikhlashkan orang menjadi orang kafir, sesat dan akhir­nya masuk neraka. Padahal Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendur­hakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerja­kan apa yang diperintahkan” (At-Tahrim 6).

Propaganda “Mesum” Majalah Syir’ah


Misi lain Syir’ah yang tak kalah rusaknya dengan pemurtadan adalah pen­citraburukan umat Islam dalam hal seksual. Pencitra­burukan ini semakin kurang ajar bila digeneralisir bahwa semua mahasiswa Muslim mela­kukan penyimpangan seksual.

Pada edisi nomor 30, Syir’ah mengangkat topik utama berjudul “Seks Bebas di Kampus Hijau.” Edisi ini khusus membleceti penyimpangan seksual di kampus-kampus Islam yang disoroti secara gebyah uyah (dipukul rata).

Entah apa maunya Syir’ah menampilkan berita ini? Yang jelas, berita ini bisa menim­bulkan antipati dan sinisme orang awam dan kalangan non Islam terhadap kampus berlabel “Islam.” Betapa tidak? Perhatikan saja sinop­sisnya: “Terpuruknya iman di lubang hasrat. Ajaran agama menilai seks di luar nikah sebagai perbuatan berbuah dosa. Biasanya para pemeluk agama menghindari perilaku haram itu. Akan tetapi, fenomena ini di kalangan mahasiswa Muslim tak begitu. Sebagian dari mereka bahkan menganggap seks bebas itu sudah biasa.” (hlm. 18).

Pada halaman berikutnya, kalimat yang dicapture dengan huruf besar pun semakin melecehkan pesantren: “Ihwal kebebasan seks di kalangan mahasiswa bukanlah hal aneh. Tapi cukup mengagetkan jika ternyata pelakunya banyak dari kalangan pesantren.”

Diblow up di dalamnya tentang seks bebas di kampus Islam yang dilakukan oleh para aktivis kampus Islam, aktivis Harakah Khilafah (Hizbut Tahrir?), dan alumnus pesantren. Foto ilustrasinya pun sangat mesum dan melecehkan Islam. Ada foto wanita ber­jilbab sedang tidur ber­pelukan di ranjang dengan lawan jenisnya, ada beberapa keping cover VCD porno lengkap dengan cuplikan foto bugilnya, dan seterusnya. Ada gambar setengah badan dua orang pasangan sedang ber­pelu­kan saling berpegangan pinggang selayaknya suami-istri. Seolah-olah, adegan mesum itu sangat akrab di kalangan “kampus hijau.”

Perwajahan Syir’ah yang seronok pun tak pantas me­nyandang label Islam. Dari capture foto di dalamnya, lebih tepat kalau Syir’ah dika­te­gorikan sebagai media “biru” sejajar dengan tabloid Hot, Pop, Lipstik, Lelaki, Ehm, dll.

Bayangkan saja, ketika mengangkat kontroversi film Buruan Cium Gue (BCG), dibahas polemik antara AA Gym dengan Raam Punjabi (Syir’ah edisi nomor 35).

Capturenya pun sangat seronok, adegan film BCG dicapture utuh. Ada dua pasang remaja berdiri berpelukan. Yang sepasang sebelah kiri, seorang remaja putra yang lebih tinggi dari pasangannya menempelkan kepalanya pas ke kening sang putri. Tangan yang putra memegang perut pas di bawah buah dadanya. Sang putri terlihat diam menikmati perlakuan tersebut.

Pasangan yang kedua, berdiri di sebelah kanan. Sang cewek memakai busana ketat, ketiaknya melompong, roknya di atas lutut, panjangnya setengah paha. Dia berdiri dengan wajah penuh rangsangan, menempelkan –maaf– kedua buah dadanya ke perut sang cowok. Sementara sang cowok yang berkaus hitam yang lebih tinggi, berdiri memegang lehernya dan mengarahkan pandangannya ke bawah, seolah sedang mengamati buah dada sang cewek. (hlm. 53).

Pada edisi nomor 22, Syir’ah menyajikan topik utama “Sex on TV: Bang­krutnya Petuah Halal-Haram”. Intinya, mengajak pembaca untuk pembaca untuk mengabaikan “sementara” halal-haram guna mera­maikan pembicaraan seksual.

Ilustrasinya pun jauh dari etika Islam. Pada halaman 18 ditampilkan foto relief –maaf– alat kelamin laki-laki berdiri menjulang ke atas –maaf– sedang menusuk alat kelamin wanita. Pantaskah media ini disebut majalah Islam?

Kita memang harus cerdas dan teliti dalam memilih bacaan. Memang buku adalah guru yang paling baik. Tapi jika salah baca, maka akan jadi racun bagi keselamatan iman kita. Waspadai media-media yang didanai oleh founding asing.

Uang memang bisa merubah segalanya jadi kejam. Karena uang, sahabat bisa jadi musuh, bahkan tak jarang berujung pada dendam dan pembunuhan. Gara-gara uang pula, orang memusuhi agama dan keya­kinannya, bahkan tak jarang berujung pada fitnah dan pemurtadan. (Majalah tabligh)

Wallahu musta’an.


::BACK TO HOME::