Kebanyakan sikap sinis dan
hujatan terhadap Islam belakangan ini terjadi akibat kebodohan, kesilauan
rasa minder terhadap peradaban Barat.
(Eksposisi Tesis Prof. Naquib al-Attas tentang Islam dan Barat)
Pada tanggal 23-26 Oktober 2004, saya bersama beberapa peneliti INSISTS
menyampaikan presentasi dalam sejumlah workshop tentang pemikiran Islam dan
Barat di Solo dan Yogya. Ada sejumlah fenomena dan cerita menarik yang perlu
kita telaah. Ada berita, bahwa seorang dosen wanita di satu perguruan Islam,
menjadi imam salat bagi suami dan anak-anaknya, karena ia lebih baik bacaan
Qur’annya, dibandingkan suaminya. Ini adalah pengaruh dari paham gender
equality. Ada dosen yang berbicara di depan kelas, bahwa kita perlu
al-Quran baru. Menurut mereka, metode Hermeneutika sudah menjadi harga mati
untuk diterapkan dalam penafsiran al-Quran, sehigga tidak perlu digugat lagi.
Kucuran dana dari Amerika Serikat untuk proyek liberalisasi Islam sungguh
luar biasa. Ada seorang hakim agama bercerita bahwa training-training tentang
kesetaraan gender terus-menerus diadakan untuk mengubah pemikiran mereka.
Selain dilakukan di hotel-hotel berbintang, peserta pun dibayar. Fenomena westernisasi
dalam pemikiran dan studi Islam begitu kental dan menggejala serta ngetrend.
Disamping dampak serius dari penggunaan metode liberal dalam studi Islam,
yang juga memprihatinkan adalah kualitas ilmiah dari penyebaran-penyebaran
paham itu. Paham ini disebarkan dalam bentuk dogma, tidak diikuti sikap
kritis yang memadai ketika mengadopsi teori-teori Barat. Sebaliknya, sikap
kritis dan hujatan sering ditujukan kepada ilmuwan-ilmuwan besar Islam,
seperti Imam Syafii, al-Ghazali, dan sebagainya. Kebanyakan, sikap sinis dan
hujatan terhadap ilmuwan-ilmuwan muslim, terjadi akibat kebodohan,
ketidaktahuan, dan kesilauan terhadap kemajuan material yang dicapai
peradaban Barat sekarang ini.
Soal kemajuan Barat dalam bidang sains dan teknologi serta perlunya kaum
Muslim belajar tentang hal itu, tidaklah diragukan. Sejak awal-awal
kelahirannya, Islam sudah bersentuhan dengan peradaban besar ketika itu,
yaitu Romawi dan Persia. Tetapi, peradaban Islam tumbuh sebagai satu
peradaban yang khas yang berbeda dengan peradaban besar sebelumnya. Islam
menyerap dan mengadopsi sebagian unsur peradaban asing, namun sekaligus
melakukan seleksi, filterisasi, dan adapsi terhadap nilai dan unsure asing
itu. Jika kita cermati sejarah perjalanan Islam, maka tampak, bahwa kaum Muslim
ketika itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak minder dalam
menghadapi peradaban lain.
Apa yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Hegemoni Barat bukan hanya
menonjol dalam bidang politik, ekonomi, dan social, tetapi juga dalam pemahaman
keagamaan. Metode kajian Islam diubah mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.
Jejak kaum Yahudi-Kristen yang meliberalkan agamanya diikuti oleh para
sarjana dari kalangan umat Muslim. Anehnya, semua itu tampak dilakukan dengan
semangat dan kurang kritis. Misalnya, satu organisasi Islam mengadopsi metode
tafsir al-Jabiri, tetapi tidak melakukan kajian kritis terhadap teori itu
sendiri. Padahal, puluhan buku telah terbit di Timur Tengah yang mengkritik
metode al-Jabiri.
Ironisnya lagi, jika kita kritik, dan kita ingatkan, bahwa metode yang
diterapkan adalah metode asing yang digunakan kaum Yahudi dan Kristen
terhadap agama mereka, maka tidak jarang kita dituduh anti-Barat dan
fundamentalis, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang pantas dimusnahkan
dari muka bumi, karena tidak mengikuti jejak mereka. Semua itu sebenarnya
bermula dari cara pandang yang keliru terhadap Islam dan Barat. Tidak sedikit
juga yang tergiur dengan iming-iming duniawi yang menggiurkan jika mau
memeluk paham dan pandangan hidup Barat, seperti sekularisme, dengan
konsekuensi meninggalkan pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan Catatan Akhir Pekan, kita akan
menampilkan dengan lebih jelas, pandangan cendekiawan Muslim Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas tentang Islam dan Barat. Naquib al-Attas saat ini
merupakan satu diantara ilmuwan terbesar di dunia Islam yang pendapatnya
tentang Barat menjadi kajian ilmiah di dunia internasional. Hal itu bisa
dilihat dari karya-karya ilmiah dan perjalanan intelektualnya.
Prof. Naquib Al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani
pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The
Royal Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya,
Singapura. Gelar master diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan
PhD di University of London, London, Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘Islamic
philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’.
Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang dialaminya, antara lain:
ketua Department of Malay Language and Literature, Dekan the
Faculty of Arts, dan pemegang pertama ‘the Chair of Malay Language and
Literature’, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language,
Literature and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Ia juga mengetuai The
Division of Literature di Department of Malay Studies, University
of Malaya, Kuala Lumpur. Juga, ia pernah memegang posisi UNESCO expert on
Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and
Ohio University, distinguished Professor of Islamic Studies and the first
holder of the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies
at the American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies
(1986), dan Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought,
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.
Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia dan
menulis lebih dari 30 buku dan berbagai artikel tentang Islam, menyangkut
masalah filsafat Islam, teologi, metafisika, sejarah, sastra, agama, dan
peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Inggris
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Jerman,
Italia, Rusia, Bosnia, Albania, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas
jasanya yang besar dalam pengembangan bidang comparative philosophy, ‘The
Empress of Iran’ mengangkatnya sebagai Fellow di Imperial Iranian Academy
of Philosophy tahun 1975. Presiden Pakistan memberikan penghargaan ‘Iqbal
Medal’ tahun 1979. Sejak tahun 1974, Marquis Who's Who in the World
telah memasukkan Al-Attas ke dalam daftar nama orang-orang yang menunjukkan
prestasi istimewa dalam bidangnya.
Al-Attas dikenal sebagai pelopor konseptualisasi Universitas Islam, yang ia
formulasikan pertama kalinya pada saat acara ‘First World Conference on
Muslim Education’, di Makkah (1977). Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya
dengan mendirikan The International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC). Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri
bangunan ISTAC, merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang
kini tercatat salah satu perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies.
Raja Hussein mengangkatnya sebagai ‘Member of the Royal Academy of Jordan
(1994). The University of Khartoum menganugerahinya ‘Degree of Honorary
Doctorate of Arts (D.Litt.), 1995. The Organization of Islamic
Conference (OIC), atas nama dunia Islam, melalui ‘The Research Centre
for Islamic History, Art and Culture (IRCICA) menganugerahi Al-Attas ‘The
IRCICA Award’ atas kontribusi besarnya terhadap peradaban Islam (2000); The
Russian Academy of Science memberikan kehormatan kepada al-Attas untuk
memberikan ‘Special Presentation’ kepada para akademisi di Moskow
(2001). Pemerintah Iran, melalui lembaganya, ‘Society for the Appreciation
of Cultural Works and Dignitaries’, memberikan penghargaan kepada
al-Attas ‘a special Award of Recognition’ (2002).
Disamping itu, Prof. al-Attas juga anggota ‘The Advisory Board of Al-Hikma
Islamic Translation Series, Institute of Global Cultural Studies, Binghamton
University, SUNY, Brigham Young University; anggota ‘The Advisory
Board of the Royal Academy for Islamic Civilization Research, Encyclopaedia
of Arab Islamic Civilization, Amman, Jordan; dan anggota ‘The Assembly
of the Parliament of Cultures, International Cultures Foundation’, Turki.
Tentang sifat asasi dan perjalanan sejarah peradaban Islam dan Barat,
al-Attas mengungkapkan bahwa antara peradaban Barat dan peradaban Islam akan
terjadi apa yang ia sebut sebagai satu “permanent confrontation”
(konfrontasi permanen), atau konflik abadi. Al-Attas mengungkap teorinya itu
sejak awal dekade 1970-an, jauh dari hingar-bingar politik internasional,
ketika Perang Dingin masih berlangsung, dan secara politis-militer, Barat
masih menjadikan komunis sebagai musuh utamanya. Setelah menyelam jauh ke
dalam lubuk peradaban Barat, selepas meraih gelar PhD dari University of
London, pada awal tahun 1970-an, Al-Attas mulai aktif menulis dan berceramah
tentang tantangan dan ancaman peradaban Barat terhadap kaum Muslim dan dunia
Islam, khususnya dalam bidang keilmuan dan kebudayaan. Ia kemudian dikenal
luas sebagai cendekiawan yang sangat kritis dalam menyorot masalah
sekularisme dan menulis satu buku yang sangat terkenal di dunia internasional
yaitu buku “Islam and Secularism”.
Tentang konflik abadi Islam-Barat ini, Naquib al-Attas mencatat dalam buku
‘klasik’-nya, Islam and Secularism, bahwa konfrontasi antara peradaban
Barat dengan Islam telah bergerak dari level sejarah keagamaan dan militer ke
level intelektual; dan bahwasanya, konfrontasi itu secara histories bersifat
permanent. Islam dipandang Barat sebagai tantangan terhadap prinsip yang
paling asasi dari pandangan hidup Barat. Islam bukan hanya tantangan bagi
Kekristenan Barat tetapi juga prinsip-prinsip Aristotellianisme dan
epistemologi serta dasar-dasar filosofi yang diwarisi dari pemikiran
Greek-Romawi. Unsur-unsur itulah yang membentuk komponen dominan yang
mengintegrasikan elemen-elemen kunci dalam berbagai dimensi pandangan hidup
Barat.
(The confrontation between Western culture and civilization and Islam,
from the historical religious and military levels, has now moved on to the
intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is
by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as
posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to Western
Christianity, but also to Aristotelianism and the epistemological and
philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the
dominant component integrating the key elements in dimensions of the Western
worldview).”
Untuk menyadarkan kaum Muslim akan tantangan besar yang mereka hadapi,
khususnya dari peradaban Barat, al-Attas memberikan banyak ceramah dan
menulis berbagai buku dan risalah. Salah satu kumpulan ceramahnya pada tahun
1973 kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul “Risalah untuk Kaum
Muslimin”. Ia menyeru kaum Muslimin agar benar-benar mengenal peradaban
Barat, sebab peradaban inilah yang kini sedang menguasai dan tidak
henti-hentinya melakukan serangan terhadap Islam.
“Seperti juga dalam ilmu peperangan kau harus mengenali siapakah dia seterumu
itu; di manakah letaknya kekuatan dan kelemahan tenaganya; apakah helah dan
tipu muslihatnya bagi mengalahkanmu; bagaimanakah cara dia menyerang dan
apakah yang akan diserangnya; dari jurusan manakah akan serangan itu
didatangkan; siapakah yang membantunya, baik dengan secara disedari mahupun
tiada disedari – dan sebagainya ini, maka begitulah kau akan lebih insaf lagi
memahami nasib serta kedudukan Islam dank au sendiri dewasa ini apabila
penjelasan mengenai seterumu itu dapat dipaparkan terlebih dahulu.”
Dalam pandangan Al-Attas, kedatangan Islam, sejak awal memang telah memberikan
tantangan yang sangat fundamental terhadap sendi-sendi utama agama Kristen
yang merupakan suatu unsur penting bagi peradaban Barat. Islam menjelaskan
bahwa agama Kristen yang dikenal sekarang bukanlah agama yang ditanzilkan
oleh Allah SWT, dan bukan agama yang mendapat pengesahan daripada-Nya. Nabi
Isa a.s. adalah utusan Allah yang diperintahkan membetulkan semula
penyelewenangan agama Yahudi dan menyampaikan khabar baik tentang kedatangan
Nabi Muhammad saw. Jadi, Nabi Isa a.s. tidaklah diutus untuk membawa agama
baru yang kemudian dikenal dengan nama Kristen. Allah berfirman:
“Wahai Bani Israel, aku ini adalah utusan Allah yang diutus kepadamu bagi
mengesahkan semula Taurat yang telah datang sebelumku dan untuk menyampaikan
kabar baik tentang seorang Rasul yang akan datang sesudahku bernama Ahmad.”
(QS al-Shaff: 6).
Karena itu, dalam memandang agama Kristen sekarang, al-Attas mempunyai
pandangan yang jelas:
“Maka agama Kristian, agama Barat –sebagaimana juga agama-agama lain yang
bukan Islam– adalah agama kebudayaan, agama ‘buatan’ manusia yang terbina
dari pengalaman sejarah, yang terkandung oleh sejarah, yang dilahirkan serta
dibela dan diasuh dan dibesarkan oleh sejarah.”
|