Mengapa Minder terhadap Barat? (2)
Kebanyakan hujatan
terhadap Islam belakanganini terjadi akibat kebodohan, kesilauan rasa minder
terhadap peradaban Barat.
(Eksposisi Tesis Islam-Barat Prof.
Naquib al-Attas) oleh DR.Adian Husaini,MA
Menurut Prof. Naquib al-Attas,
bukan hanya dari segi ajaran, Islam membongkar dasar-dasar kepercayaan agama
Kristen, tetapi kemunculan Islam pada awal abad ke-7 M, juga memberikan
tantangan hebat terhadap eksistensi politik, ekonomi, dan geografi Kristen. Fajar Islam kemudian mengubah peta sejarah, khususnya di kawasan
Timur Tengah. Islam menggantikan posisi Kristen
sebagai agama dominan saat itu. Secara panjang lebar hal ini dikatakan
oleh al-Attas dalam bukunya
“Risalah untuk Kaum Muslimin” sebagai berikut:
“Pada waktu fajar Islam mulai
menyingsing maka agama Kristian itu sudahpun menguasai kawasan yang luasnya
melingkungi Eropah Barat hingga ke Timur, termasuk Asia Barat dan Afrika Utara…
akan tetapi impian agung dan idam-idaman yang tentu giat membujuk hasrat dan
ghairah penganjur serta penganut-penganut agama Kristian Barat itu tiba-tiba
getar gugur hancur akibat terbitnya Islam.
Islamlah agama yang mula-mula
menda’wahkan peranannya sebagai agama yang bersifat menyeluruh bagi anutan
segenap masyarakat insani; agama yang merupakan fitrah atau mengandung bawaan
asal sifat insani; yang mula-mula menda’wa bagi membetul dan melengkapkan
agama-agama lampau, khususnya agama Yahudi dan Kristian; yang mula-mula
menggugat dan melaberak dasar-dasar akidah agama Kristian…
Kemudian gugatan serta laberakan
batin terhadap agama Kristian itu disusuli segera dengan cabaran
(tantangan.pen.) zahir yang merupakan perkobaran Islam, dalam masa sejarah yang
sesingkat lebih kurang lima puluh tahun sahaja, laksana api yang merebak
menjalar keluar dari tanah Arab ke Mesir; ke Afrika Utara (al-Maghrib); ke
Spanyol; ke Iraq; ke Syria; ke Farsi; ke India dan China sehingga sampai juga
ke Kepulauan Melayu-Indonesia ini! Dalam masa hampir dua ratus tahun sesudah
Hijratu’l-Nabiy (shallallaahu ‘alaihi wa sallam), maka jajahan dan kawasan
Islam itu luasnya lebih jauh besar dari jajahan dan kawasan agama dan
imperaturia manapun dalam dunia, dan melingkungi kawasan-kawasan Eropah Barat
dan Timur termasuk negeri Turki. Orang-orang Islamlah yang pertama mena’lukkan
orang Barat; yang pertama memainkan peranan besar dalam menyanjung tinggi
pelita ilmu pengetahuan ke Eropah dan dengan demikian menerangi suasana gelap
gulita yang menyelubungi dunia Barat dewasa itu; yang pertama melangsungkan
pembicaraan akliah menerusi ilmu kalam dengan para failasuf dan ahli teologi
agama Kristian Barat… Pukulan zahir batin yang mahahebat yang telah dikenakan
oleh Islam kepada agama Kristian dan Kebudayaan Barat itu tentulah terasa oleh
hati sanubarinya bagai sebatan cemeti yang terlalu amat pedih menggeleparkan,
hingga lalu memaksa meragut keluar dari dalam kunhi jiwanya satu laungan
mahadahshat yang ngilunya masih dirasai olehnya kini! “Shahadan, maka sesungguhnya
tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristen Barat dan orang Barat yang
menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang
Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya,
sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai
kedaulatan duniawi.
Dan kita pun tahu bahawa tiadalah
dapat Islam itu bertolak-ansur dalam menghadapi serangan Kebudayaan Barat,
justru sehingga Kebudayaan Barat itu tentulah menganggap Islam sebagai
seterunya yang mutlak; dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan
kemenangannya dalam pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam
belum dapat ditewaskan olehnya maka akan terus ada tanding dan seteru yang
tiada akan berganjak daripada mencabar dan menggugat
kedaulatan serta faham dasar-dasar
hidup yang dida’yahkan olehnya itu.”
Al-Attas mengimbau agar kaum
Muslimin tidak alpa dan lena dalam mengemban tugasnya
sebagai umat Islam. Umat Islam tidak seharusnya secara bulat-bulat menerima dan
mengharapkan harapan yang sia-sia bantuan dan kerjasama serta persahabatan yang
ikhlas dari yang lain. Ia mengajak umat Islam
merenungkan makna firman Allah dalam surat al-Baqarah 120:
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk ". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu."
Diingatkan oleh al-Attas dengan
bahasa yang lugas:
“Bukankah di zaman kita ini pun
jelas bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian – yang keduanya menjelmakan sifat
asasi Kebudayaan Barat – memang tiada rela menerima baik seruan Islam dan kaum
Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya? – menganuti sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan
kebendaan, kenegaraan dan keduniaan belaka.
Dan agama dijadikannya
hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah Ilmu yang sebenarnya
sudah sampai kepada kita?. Maka mengapa pula kita membiarkan
sahaja nasib Umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan
ilmu pengetahuan dan juga para ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada
sedar bahawa mereka sedang mengekori hawa nafsu Kebudayaan Barat! Mereka
membayangi Kebudayaan Barat dalam cara berfikir, dalam
sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham
serta tujuan ilmu. Kepada Kebudayaan Baratkah akan
kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindak
balasan Allah kelak? Waspadalah saudaraku Muslimin sekalian!”
Berbeda dengan Samuel P. Huntington
yang sejak tahun 1960-an sudah menjadi penasehat politik Amerika Serikat (AS),
dan menulis bukunya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
untuk bahan merumuskan kebijakan politik negaranya, sosok al-Attas adalah sosok
seorang ilmuwan dan akademisi yang sangat peduli dan berkecimpung dalam hampir
seluruh hidupnya dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Al-Attas sama sekali bukan sosok politisi. Ia tipe ilmuwan murni, ulama, yang meyakini bahwa problema
mendasar yang dihadapi umat Islam dan dunia internasional adalah masalah
keilmuan (knowledge). Ia seperti mengikut jejak
ulama-ulama Islam terdahulu, seperti al-Shafii, al-Ghazali, Imam Ahmad, dan
sebagainya, yang bergiat dalam ilmu dan menjaga kemandirian dan sikap kritis
terhadap penguasa. Sebagai ulama yang memiliki tanggung jawab
keilmuan dan penjagaan aqidah dan eksistensi umat Islam, Naquib al-Attas
menyerukan agar kaum Muslim – disamping memahami Islam dengan baik – juga
memahami secara mendalam realita peradaban Barat. Ia
mencatat bahwa, “Kebanyakan orang Islam belum lagi mengetahui dan mengenali apa
dia sebenarnya Kebudayaan Barat itu. Sebelum dapat kita
mengukuhkan diri terhadap serangan yang ditujukan kepada kita oleh Kebudayaan
Barat maka perlulah bagi kita mengenali sifat-sifat asasi kebudayaan itu.”
Teori al-Attas tentang
sifat-sifat asasi peradaban Barat dan Islam telah menarik banyak perhatian
dunia internasional. Buku-bukunya diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Ia memiliki pendirian yang
kokoh dan tajam, meskipun harus memberikan kritik langsung terhadap peradaban
Barat di depan para cendekiawan Barat itu sendiri. Sebagai contoh, perhatian
terhadap teori al-Attas adalah apa yang dilakukan oleh
sebuah Foundation di Australia “The Cranlana Program” yang menerbitkan dua
volume buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002). Buku ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah umat
manusia. Gagasan al-Attas yang diambil adalah
pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan berjudul “Dewesternization of
Knowledge”.
Secara lebih sederhana, hakikat
peradaban Barat dijelaskan al-Attas dalam buku
Risalah untuk Kaum Muslimin:
“Biasanya yang disebutkan orang
sebagai Kebudayaan Barat itu adalah hasil warisan yang telah dipupuk oleh
bangsa-bangsa Eropah dari Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian diadun pula
dengan campuran Kebudayaan Rumawi dan unsure-unsur lain dari hasil cita-rasa
dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropah sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa
Jerman, Inggris dna Perancis. Dari Kebudayaan Yunani Kuno mereka
telah meletakkan dasar-dasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu
pengatahuan dan kesenian; dari Kebudayaan Rumawi Purbakala mereka telah merumuskan
dasar-dasar undang-undang dan hokum serta ketatanegaraan. Agama Kristian, sungguhpun berjaya memasuki benua Eropah, namun
tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropah. Justru sesungguhnya agama yang
berasal dari Asia Barat dan merupakan, pada tafsiran aslinya, bukan agama
baharu tetapi suatu terusan dari agama Yahudi itu, telah diambil- alih dan
dirobah-ganti oleh Kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan
yang telah lama dianutnya sebelum kedatangan ‘agama Kristian’. Mereka telah mencampuradukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma
sebagai agama Kristian dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Rumawi,
dan Mesir dan Farsi dan juga anutan-anutan golongan Kaum Biadab.”
Dengan sifat dan posisi agama
Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam itu, maka Kebudayaan
Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam hal ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Ali
an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendekiawan Muslim lainnya. Namun,
pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan
sistematis, ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu
dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno,
Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat. Dengan mengesampingkan
agama dan menjadikan falsafah sebagai asas berpikirnya, maka tiada tempat dalam
jiwa pengalaman mereka itu beragama sesuatu ketetapan mengenai keyakinan.
Mereka hanya menegaskan dasar ‘teori’, yaitu ilmu pengetahuan
atau hasil akal-nazari yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan dan
pencapaian akal jasmani yang mungkin benar dan mungkin tidak benar. Maka
dari itu, dasar ‘ilmu’ yang demikian dan sikap hidup yang menjadi akibatnya,
tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Sifat agama Kristen itu sendiri, yang problematis dalam asas-asas
kepercayaannya, menurut al-Attas, juga turut membentuk sikap peradaban Barat.
Secara singkat, al-Attas menyimpulkan
sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat, yaitu (1) berdasarkan falsafah dan bukan
agama, (2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan
faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta
kebenaran hakikat semesta, dan (3) Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan
hidup yang tragic. Yakni, mereka menerima pengalaman
‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi
peranan manusia dalam dunia.
Dengan memahami hakikat
peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi
semacam itu, Al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang
dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang
mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena
yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Al-Attas
memulai tulisannya dalam ‘Dewesternization of Knowledge’ dengan ungkapan, bahwa
sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih
serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini.
Kritik-kritik al-Attas terhadap
karakteristik keilmuan Barat modern, misalnya, juga disampaikan saat Konferensi
Internasional para Filosof pada Januari 2000, di
University of
Hawai. Konferensi
ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangsung selama
dua minggu. Tema yang dibahas ialah “Technology and
Cultural Values on the Edge of the Third Millennium”. Dalam editorialnya
terhadap buku kompilasi hasil konferensi itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu
Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames, mencatat bahwa
paparan al-Attas yang menyorot kesesuain dan ketidaksesuaian antara tradisi
Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika
Islam, merupakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang
basis revisi Islami terhadap tujuan dan premis-premis moral dalam sains dan
teknologi.
Dalam uraiannya ini,
al-Attas banyak menjelaskan berbagai perbedaan fundamental antara konsep
sekular Barat dan Islam dalam berbagai persoalan. Dalam soal konsep
kebahagiaan (happiness), misalnya, al-Attas menjelaskan sikap Muslim yang menolak
konsep Aristotelian tentang kebahagiaan yang hanya menyentuh aspek duniawi, dan
hingga kini diikuti oleh konsep modern. Ia menegaskan
tentang sikap pandangan hidup (worldview) Islam yang tidak memisahkan aspek
duniawi dengan akhirat. Konsepsi modern tentang kebahagiaan, (sa’adah) menurut
al-Attas, esensinya sama dengan konsepsi manusia di
masa lalu, di era paganisme. Sedangkan konsep kebahagiaan dalam Islam, akan dialami dan disadari oleh orang-orang yang benar-benar
tunduk dan patuh kepada Allah dan mengikuti bimbingan-Nya. Puncak
kebaikan dalam hidup adalah Cinta kepada Allah.
Dalam berbagai tulisan
dan ceramahnya, al-Attas tampak berusaha keras memberikan keyakinan kepada kaum
Muslimin, terutama para cendekiawannya, tentang keagungan konsep peradaban
Islam, dibandingkan konsep peradaban lainnya. Ia sangat
menekankan perlunya kaum Muslimin mengkaji dan memahami khazanah keilmuan yang telah
dicapai para ulama Muslim yang agung di masa lalu. Ia
menanamkan jiwa optimisme, meskipun Islam menghadapi serangan hebat dari
berbagai penjuru. Tahun 1959, jauh sebelum menempuh jenjang
pendidikan tinggi di Barat, al-Attas sudah mengamati kondisi kaum Muslimin yang
memilukan. Ketika itu, ia menulis sebuah puisi:
Muslim tergenggam belenggu kafir,
Akhirat luput, dunia tercicir,
Budaya jahil luas membanjir,
Banyak yang karam tiada
tertaksir.
Sebab utama yang melilit kondisi
kaum Muslimin, kata al-Attas, adalah kejahilan masyarakat Islam terhadap Islam,
sebagai agama yang sebenarnya dan peradaban yang luhur dan agung yang telah
menghasilkan ilmu-ilmu Islamiyah yang mampu mewujudkan pandangan hidup
(worldview) tersendiri yang unik.
Paparan al-Attas tentang
peradaban Barat perlu dikaji secara cermat. Sebab, apa
yang disampaikannya berpuluh tahun lalu kini banyak menjadi kenyataan. Kaum Muslim – khususnya di Indonesia –
kini disuguhi satu tragedi intelektual yang memilukan.
Begitu
banyak sarjana Muslim yang terpesona dan mengagungkan pandangan hidup Barat dan
teori-teori para ilmuwan Barat, meskipun harus mengorbankan keyakinan Islam.
Al-Attas mengajak kaum Muslimin untuk memahami Barat secara
mendalam, bukan bersikap anti-Barat. Banyak hal yang
dapat diambil dan dipelajari dari Barat, tetapi bukan menjiplak pandangan hidup
Barat yang mengebiri dan membunuh agama sendiri, semisal paham sekularisme dan
pluralisme agama.
Jika Barat maju secara
fisik dengan membuang dan mengebiri agamanya, kaum Muslimin tidak perlu
mencontoh mereka. Sebab, Islam memang berbeda dengan Kristen.
Dengan mengkaji Barat dengan baik, dan juga Islam dengan baik, menurut al-Attas,
maka kaum Muslim tidak akan mengalami sikap rendah
diri. Sebab mereka memiliki ajaran agama dan Kitab Suci yang
agung. Wallahu a’lam. (KL, 4 November 2004).