Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwasanya beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa
Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat
ini2 baik orang Yahudi maupun orang Nashrani, kemudian ia mati dalam
keadaan ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali ia
menjadi penghuni neraka.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab oleh
Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya
seluruh manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan
agamanya).
Hadits ini menunjukkan
terhapusnya seluruh agama dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Seluruh manusia (dan jin) yang menemui zaman pengutusan
beliau sampai hari kiamat wajib untuk menaati beliau. Di sini
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut Yahudi dan
Nashrani karena mereka berdua memiliki kitab (yang diturunkan dari
langit). Hal ini diinginkan sebagai peringatan bagi selain keduanya,
sehingga lazimnya apabila mereka (Yahudi dan Nashrani) saja harus
tunduk dan menaati beliau, maka selain keduanya yang tidak memiliki
kitab lebih pantas lagi untuk tunduk. (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi,
2/188, Darur Rayyan 1407 H)
Agama ini mengajarkan kepada umat Islam untuk
mengatakan bahwa agama selainnya adalah kafir, sehingga dalam
keyakinan Islam, agama lain tidak bisa dibenarkan keberadaannya. Hal
ini telah dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan salah satu tujuan diutusnya Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menghapuskan agama selain Islam,
sehingga yang ada hanyalah Islam, walaupun Islam masih memberikan
batasan-batasan hukum kepada yang lainnya yang dikenal dengan hukum
bagi ahludz dzimmah.
Islam sendiri membagi muamalah antara penganutnya
dengan orang kafir menjadi empat: kafir harbi,
kafir musta’min, kafir mu’ahad dan kafir dzimmi, sehingga
setiap golongan diperlakukan sesuai dengan golongannya.
Inilah toleransi positif dan benar yang sesuai dengan ketetapan agama
Allah serta tidak diragukan kebenarannya, sehingga batillah
seruan para thaghut pluralis yang menyatakan bahwa toleransi seperti
ini, tanpa ada dalil dari Kitabullah dan Sunnah, sebagai toleransi
dalam penafsiran negatif sebagaimana tertera dalam buku mereka
Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keberagaman, hal. 13, Penerbit Buku
Kompas, 2001. Maka sebagai konsekuensi toleransi ini, mereka harus
menerima pengkafiran kaum muslimin terhadap agama lain dan penganutnya.
Agama Islam Menghapus
Seluruh Ajaran Agama Sebelumnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus para nabi
dan rasul untuk menegakkan hujjah-Nya di muka bumi, sehingga tidak ada
alasan bagi para hamba bila enggan beriman setelah itu. Dan tidak ada
satu umat pun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi
peringatan dan pembawa kabar gembira, sejak rasul yang pertama, Nuh 'alaihissalam,
dan ditutup oleh Nabi dan Rasul yang terakhir Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Seruan semua utusan Allah tersebut adalah satu, yaitu:
“Beribadahlah kalian kepada
Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
Agama para nabi dan rasul tersebut satu yaitu
Islam, karena pengertian Islam secara umum adalah beribadah kepada
Allah dengan apa yang Dia syariatkan sejak Allah mengutus para rasul
sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana Allah sebutkan hal ini dalam
banyak ayat, yang semuanya menunjukkan bahwasa syariat-syariat
terdahulu (umat sebelum kita) seluruhnya adalah Islam (tunduk) kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seperti firman Allah menyebutkan doa Nabi
Ibrahim 'alaihissalam:
“Wahai Rabb kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk berserah diri kepadamu (muslim)
dan jadikanlah anak turunan kami sebagai umat yang tunduk berserah
diri (muslim) kepadamu.” (Al-Baqarah: 128)
Adapun Islam dengan makna
yang khusus adalah agama yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang menghapuskan seluruh ajaran nabi dan rasul terdahulu,
sehingga orang yang mengikuti beliau berarti telah berislam, sedangkan
yang menolak beliau bukan orang Islam. Pengikut para rasul
adalah muslimin di zaman rasul mereka. Maka Yahudi adalah muslimin di
zaman Nabi Musa 'alaihissalam, dan Nashrani adalah muslimin di zaman
Nabi ‘Isa 'alaihissalam, jika mereka benar-benar mengikuti syariat
rasul mereka. Adapun setelah Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, lalu mereka tidak mau beriman
kepada beliau maka mereka bukan muslimin (baca: orang
Islam). (Syarh Tsalatsatil Ushul, Al-Imam Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
hal. 20-21, Dar Ats-Tsurayya, 1417 H)
Agama Islam inilah yang diterima oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Dia tidak menerima agama selainnya:
“Sesungguhnya agama (yang
diterima) di sisi Allah adalah agama Islam.” (Ali Imran: 19)
“Siapa yang mencari agama
selain agama Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di
akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tidak ada agama yang
diterima di sisi-Nya selain agama Islam, dengan mengikuti para rasul
dalam pengutusannya pada setiap masa, sampai ditutup oleh Nabi dan
Rasul yang akhir Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian
Allah menutup seluruh jalan kepada-Nya kecuali dari sisi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan begitu, siapa pun yang bertemu
dengan Allah setelah diutusnya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan beragama selain syariat yang beliau bawa dan ajarkan, maka
tidak diterima agama tersebut darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/19,
Maktabah Taufiqiyah, tanpa tahun)
Agama Islam inilah yang Allah anugerahkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umat beliau, dan Allah
nyatakan sebagai agama yang diridhai-Nya:
“Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku
atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah:
3)
Dalam ayat yang mulia di atas, Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengabarkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh manusia adalah agama yang
sempurna, mencakup seluruh perkara yang cocok diterapkan di setiap
zaman, setiap tempat dan setiap umat. Islam adalah agama yang sarat
dengan ilmu, kemudahan, keadilan dan kebaikan. Islam adalah pedoman
hidup yang jelas, sempurna dan lurus untuk seluruh bidang kehidupan.
Islam adalah agama dan negara (daulah), di dalamnya terdapat manhaj
yang haq dalam bidang hukum, pengadilan, politik, kemasyarakatan dan
perekonomian serta segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia dalam
kehidupan dunia mereka, dan dengan Islam nantinya mereka akan bahagia
di kehidupan akhirat. (Dinul Haq, Abdurrahman bin Hammad Alu Muhammad,
hal. 35, diterbitkan oleh Wazaratusy Syu’unil Islamiyah Al-Mamlakah
Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, 1420 H)
Dengan demikian, wajib
bagi setiap orang yang mengaku mengikuti agama para rasul, apakah itu
Yahudi ataupun Nashrani, untuk beriman dan tunduk kepada agama Islam
yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bila mereka enggan dan berpaling, berarti mereka adalah orang-orang
kafir walaupun mereka mengaku beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa 'alaihimassalam.
Dan pada hakikatnya mereka tidak dipandang beriman kepada Nabi Musa
dan Nabi ‘Isa 'alaihimassalam sampai mereka mau beriman kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Dinul Haq, hal. 33)
Pemaksaan
Para Thaghut Pluralisme- Inklusivisme agar Agama Lain Juga Diterima
sebagai Suatu Kebenaran
Agama Islam adalah
kebenaran mutlak, adapun selain Islam adalah kekufuran.
Siapa pun yang enggan untuk beragama dengan Islam yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia kafir. Namun
kebenaran mutlak ini ditolak oleh para thaghut pluralis dan inklusif
Paramadina, JIL dan yang lainnya dengan memaksakan agar Islam jangan
merasa benar sendiri tapi perlu melihat kebenaran pada agama lain.
Seperti tulisan Budhy Munawar Rahman, pengajar filsafat di Universitas
Paramadina Jakarta, yang dimuat dalam situs www.Islamlib.com, 13
Januari 2002, berjudul Memudarnya Kerukunan Hidup Beragama,
Agama-agama Harus Berdialog dan juga di harian Republika, 24 Juni
2000, berjudul Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama. Dalam tulisannya,
ia memaksakan teologi pluralis dengan melihat agama-agama lain
sebanding dengan agama Islam, dan juga terhadap ayat Allah yang
menunjukkan agama yang Allah terima dan Allah ridhai hanyalah agama
Islam (Ali Imran: 19 dan 85). Diajaknya orang-orang untuk membaca ayat
ini dengan semangat inklusif, semangat agama universal dengan
memaknakan Islam sebagai agama yang penuh kepasrahan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala sehingga semua agama bisa dimasukkan ke dalamnya
asalkan berpasrah diri kepada Allah.
Demikian juga Muhammad Ali, dosen IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang membuat tulisan di harian Republika (14
Maret 2002) berjudul Hermenetika dan Pluralisme Agama. Ia mengajak
orang agar tidak memahami ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 19 dan
85 dalam bingkai teologi eksklusif yakni keyakinan bahwa jalan
kebenaran dan jalan keselamatan bagi manusia hanyalah dapat dilalui
melalui jalan Islam. Tapi ayat ini harus dipahami dengan teologi
pluralis dan teologi inklusif.
Juga Nurcholish Madjid, tokoh mereka yang sangat
rajin mengumbar teologi sesatnya, ia menganggap banyak agama yang
benar, tidak hanya Islam (Teologi Inklusif Cak Nur karya Sukidi,
Kompas, 2001). Saat memberi kata pengantar buku Pluralitas Agama
Kerukunan dalam Keragaman, hal. 6 (Penerbit Buku Kompas, 2001),
Nurcholish mengucapkan kalimat yang seolah itu benar namun sebenarnya
batil: “Kendatipun cara, metode atau jalan keberagamaan menuju Tuhan
berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan yang
sama, Allah Yang Maha Esa.” Kalimat ini menunjukkan ia mengakui
keberadaan semua agama dan menyejajarkannya satu sama lain sehingga
Islam sama dengan Nashrani, Hindu, Buddha, Majusi, Shinto, Konghuchu!!
Karena semua agama itu menuju Tuhan walau jalan yang ditempuh berbeda
(Ulil Abshar Abdalla; Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18
Nov. 2002 dan situs islamlib.com). Wal’iyadzu billah.
Orang-orang ini enggan untuk mengibarkan bendera
permusuhan dengan kaum kafirin dari kalangan Yahudi dan Nashrani, dan
enggan pula menganggap salah agama selain Islam. Di antara sebabnya,
ketika mereka berhadapan dengan ayat Allah:
“Orang-orang Yahudi dan
Nashrani tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mau mengikuti agama
mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Maka disimpulkan oleh Quraisy Shihab bahwa ayat di
atas dikhususkan kepada orang-orang Yahudi dan umat Nashrani tertentu
yang hidup pada zaman Nabi, dan bukan kepada umat Nashrani dan Yahudi
secara keseluruhan (Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, hal.
26). Sementara diijinkannya memerangi orang kafir bukan diperuntukkan
terhadap umat Nashrani dan yang semacamnya yang termasuk Ahli Kitab.
Buku
Fiqih Lintas Agama Ingin Memberangus Islam
Para thaghut ini sangat
menentang syariat Islam karena menurut mereka akan mendiskreditkan
penganut agama lain dan juga mereka beranggapan hukum Islam itu
menzalimi kaum wanita, bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi
seperti hukum rajam, dibolehkannya perbudakan dan masalah waris (Islam
Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir,
hal. 187-192, Pustaka Pelajar, 2003, dan tulisan-tulisan di
www.islamlib.com). Kerja sesat mereka tidak sampai di situ. Dengan
beraninya mereka membatalkan hukum Islam dengan logika mereka yang
dangkal, kemudian lahirlah buku buhul-buhul setan karya mereka seperti
Fiqih Lintas Agama (FLA) yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina
bekerjasama dengan yayasan kafirin The Asia Foundation yang berpusat
di Amerika. Dalam buku yang sangat jauh dari ilmiah ini, mereka
menggugat hukum Islam yang kata mereka terkesan eksklusif dan merasa
benar sendiri. Mereka permainkan
ayat-ayat Al-Qur’an (hal. 20-21, 49, 214, 249), menolak
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak
sesuai dengan semangat pluralisme inklusivisme mereka (hal. 70-71), mencaci
maki Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang membawakan hadits
tersebut (hal. 70), mengecam para imam salaf seperti Al-Imam
Syafi’i (hal. 5, 167-168) dan memanipulasi ucapan ulama
seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ditarik-tarik agar
menyepakati kemauan mereka (seperti pada hal. 55). Bahkan mereka mengusung
hak kafirin untuk menghadang syariat Islam dan membela orang
kafir mati-matian, sehingga mereka pun menyatakan boleh
mengucapkan salam kepada non muslim (hal. 66-78), boleh mengucapkan
selamat Natal dan selamat hari raya agama lain (hal. 78-85), boleh
menghadiri perayaan hari-hari besar agama lain (hal. 85-88), bolehnya
doa bersama antar pemeluk agama yang berbeda (hal. 89-107), bolehnya
wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir (hal. 153-165),
bolehnya orang kafir mewarisi harta seorang muslim (waris beda agama)
(hal. 165-167), serta sejumlah kesesatan dan kekufuran berfikir
lainnya. Betapa para thaghut penulis
buku yang sesat ini memperjuangkan mati-matian teologi pluralisme,
ajaran mempersamakan semua agama, seolah teologi ini tak dapat ditawar,
sehingga syariat Islam yang tidak toleran dengan teologi ini berusaha
mereka kebiri.
Betapa tidak tolerannya buku sesat ini terhadap
aqidah Islamiyyah yang menetapkan kebenaran hanya pada agama Islam,
sementara di luar Islam adalah agama kekafiran. Betapa tidak
tolerannya buku buhul-buhul setan ini terhadap ketetapan syariat
Islam, bahkan berupaya memberangus dan membumihanguskan syariat Islam
yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya buku ini
sangat toleran kepada musuh-musuh Islam!!! Untuk menggiring kaum
muslimin agar menerima agama di luar Islam dan tidak memandang Yahudi
dan Nashrani sebagai musuh, mereka mengatakan: “Segi persamaan yang
sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal ini berbeda dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman
Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan firman
Allah: “Katakan (Muhammad): Aku tidak menyembah yang kamu sembah dan
kamu pun tidak menyembah yang aku sembah…” Ayat yang sangat
menegaskan perbedaan konsep “sesembahan” ini ditujukan kepada kaum
musyrik Quraisy dan bukan kepada ahli kitab.” (FLA, hal. 55-56)
Demikianlah lolongan para thaghut tersebut, yang
pada intinya ingin menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya pada Islam
saja sehingga jangan merasa benar sendiri. Lolongan ini sebetulnya
hanya mengikuti dan melanjutkan pendahulunya, Harun Nasution, yang
telah lebih dulu menyatakan dengan lolongannya: “Mencoba melihat
kebenaran yang ada di agama lain.” (Harun Nasution, Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran, hal.275, Mizan, 1998). Sehingga perlu dan wajib
bagi kita untuk membungkam lolongan mulut kotor para thaghut pluralis
ini yang sudah memakan banyak korban akibat mendengarkan lolongan
mereka, dengan kita mendatangkan kebenaran dari Islam berupa nash-nash
yang di dalamnya mengandung kebenaran dan hujjah.
Yahudi dan
Nashrani Kafir Selama-lamanya
Adapun Yahudi dan Nashrani tidak kita sangsikan
bahwa mereka adalah orang-orang kafir sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam, padahal Al-Masih
sendiri berkata: Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Tuhanku
dan Tuhan kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu
dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya dan
tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang dzalim itu
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:
Allah adalah salah satu dari tuhan yang tiga (trinitas), padahal
sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain
sesembahan yang satu. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka
katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Yahudi:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: Hati kami
tertutup. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang mau beriman. Dan
setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan
apa yang ada pada mereka (yaitu berita dari Taurat akan datangnya
Rasul terakhir beserta ciri-cirinya), padahal sebelumnya mereka biasa
memohon kedatangan Nabi untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah atas orang-orang
yang ingkar tersebut. Alangkah buruknya perbuatan mereka yang menjual
diri mereka sendiri dengan mereka mengkafiri apa yang telah diturunkan
Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka
mendapat murka di atas kemurkaan yang telah mereka dapatkan. Dan untuk
orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. Apabila dikatakan kepada
mereka: Berimanlah kepada Al-Qur’an yang diturunkan Allah, mereka
berkata: Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.
Dan mereka kafir kepada Al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang
Al-Qur’an adalah kitab yang haq, yang membenarkan apa yang ada pada
mereka. Katakanlah: Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah
jika benar kalian itu orang-orang yang beriman?”
Demikian pula pernyataan Rasulullah Subhanahu wa
Ta'ala sebagaimana hadits yang telah disebutkan di atas beserta
penjelasannya.
Yahudi dan Nashrani memiliki kitab yang diturunkan
dari langit (kitab samawi), Taurat dan Injil, sehingga mereka digelari
ahlul kitab. Akan tetapi, karena mereka enggan beriman kepada Al-Qur’an
dan enggan tunduk kepada syariat yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam maka mereka kafir. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
“Orang-orang kafir dari
ahlul kitab dan musyrikin mengatakan bahwa mereka tidak akan
meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata.” (Al-Bayyinah: 1)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan kembali
tentang kekafiran ahlul kitab dan bahwa mereka itu adalah penghuni
jahannam:
“Sesungguhnya orang-orang
kafir dari ahlul kitab dan musyrikin tempat mereka adalah di dalam
neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk
makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)
Adapun kitab mereka
sendiri telah diubah-ubah dengan tangan mereka3 dan hal ini menambah
kekufuran mereka, sehingga bagaimana mereka akan dapat
beriman dengan keimanan yang benar terhadap kitab yang diturunkan
kepada mereka? Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan:
“Maka kecelakaan yang
besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka
sendiri (karangan mereka) lalu mereka katakan: Ini dari Allah, dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka,
akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 79)
Y
ahudi dan
Nashrani adalah Orang-orang yang Dimurkai Allah dan Disesatkan
Orang-orang Yahudi
dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Al-Maghdhubu
‘alaihim (yang dimurkai Allah) dan Nashrani sebagai Adh-Dhallun
(yang tersesat), sebagaimana dinyatakan dalam ayat terakhir
Surat Al-Fatihah:
“Tunjukkanlah kami kepada
jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat
kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula
jalannya orang-orang yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagaimana diriwayatkan dari sahabat ‘Adi ibnu Hatim4 radhiallahu 'anhu
di dalam hadits yang panjang, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya Yahudi itu
adalah yang dimurkai dan Nashara adalah orang-orang yang disesatkan.”
Imam ahli tafsir dan ahli
hadits, Ibnu Abi Hatim, berkata: “Saya tidak mendapatkan
perselisihan di antara ahli tafsir bahwasanya al-maghdhub ‘alaihim (di
dalam ayat itu) adalah Yahudi dan adh-dhallun adalah Nashara, dan yang
mempersaksikan perkataan para imam tersebut adalah hadits ‘Adi bin
Hatim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kekafiran
Yahudi pada prinsipnya karena mereka tidak mengamalkan ilmu mereka.
Mereka mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya, baik dalam
ucapan atau perbuatan, ataupun sekaligus dalam ucapan dan perbuatan.
Sementara kekafiran Nashrani dari sisi amalan mereka yang tidak
didasari ilmu, sehingga mereka bersungguh-sungguh melaksanakan
berbagai macam ibadah tanpa didasari syariat dari Allah, serta
berbicara tentang Allah tanpa didasari ilmu.” (Iqtidha Ash-Shirathil
Mustaqim, hal.23, Darul Anshar 1423 H). Lihat pula keterangan dan
pendalilan beliau yang lebih panjang mengenai dimurkainya Yahudi dan
disesatkannya Nashrani dalam kitab tersebut (hal. 22-24).
Demikian sesungguhnya keadaan Yahudi dan Nashrani,
sehingga setiap kali shalat kaum muslimin meminta perlindungan dari
mengikuti jalan keduanya (jalannya Yahudi dan Nashrani) ketika mereka
membaca ayat di dalam surat Al-Fatihah tersebut.
Yahudi dan
Nashrani adalah Kaum yang Terlaknat
Yahudi dan Nashrani telah dikafirkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya melaknat mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Allah telah melaknat
orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Laknat Allah atas kaum
Yahudi dan Nashrani.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no.
531)
Dengan penjelasan di atas, bahwa Yahudi dan
Nashrani adalah kaum yang kafir, dimurkai dan terlaknat, dapatkah
agama Islam disamakan dengan agama Yahudi dan Nashrani, terlebih lagi
dengan agama selain keduanya yang tidak memiliki kitab samawi (kitab
dari langit)? Dan jelas agama Islam tidak
boleh dibangun di atas teologi inklusif, bahkan harus dibangun di atas
keyakinan eksklusif bahwa hanya Islam agama yang benar, adapun
selainnya adalah salah!
Surat Al-Kafirun
Tidak Ditujukan kepada Musyrikin Arab Semata
Mereka mengatakan bahwa isi surat Al-Kafirun hanya
ditujukan kepada orang-orang musyrik, bukan kepada ahlul kitab.
Demikianlah yang mereka inginkan agar bisa mengeluarkan ahlul kitab
dari vonis kafir, sementara ulama dari kalangan ahli tafsir tidak ada
yang mengatakan seperti ucapan mereka. Lalu dari mana mereka
mendapatkan dalil dengan ucapan mereka tersebut? Surat Al-Kafirun
tidak membatasi bahwa kekufuran hanya ditujukan kepada musyrikin Arab.
Bahkan Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah
“Katakanlah (Ya Muhammad) wahai orang-orang kafir…”, ini
mencakup seluruh orang kafir di muka bumi, walaupun sasaran
pembicaraan dalam ayat ini adalah orang-orang kafir Quraisy.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 8/397)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan di dalam
kitab Shahih beliau mengatakan ayat lakum dinukum adalah kekufuran dan
ayat waliya din adalah Islam (Shahih Al-Bukhari bersama penjelasannya
Fathul Bari, 8/902, Darul Hadits, 1419 H). Al-Imam Asy-Syafi’i
mengatakan: “Kekufuran itu agama yang satu.” (Tafsir Ibnu Katsir,
8/398). Demikian pula pandangan Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Dawud.
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Lil Imam Al-Qurthubi, 2/65, Darul
Kutubil ‘Ilmiyah, 1413 H)
Yahudi dan
Nashrani Selamanya Tidak akan Ridha kepada Islam
Demikianlah makna dzahir yang ada pada ayat 120
surat Al-Baqarah. Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha selama-lamanya
terhadap Islam. Inilah yang Allah katakan tentang mereka tanpa ada
perkecualian.
Al-Imam Ath-Thabari tberkata ketika menafsirkan
ayat tersebut: “Wahai Muhammad, orang Yahudi
dan Nashrani tidak akan ridha kepadamu selama-lamanya, karena itu
tinggalkanlah upaya untuk mencari keridhaan dan kesepakatan mereka.
Sebaliknya hadapkanlah dirimu sepenuhnya untuk mencari keridhaan Allah
di dalam mendakwahi mereka kepada kebenaran yang engkau diutus
karenanya. Sesungguhnya apa yang engkau dakwahkan tersebut, sungguh
merupakan jalan menuju persatuan (ijtima’) denganmu di atas
kedekatan hati dan agama yang lurus. Tidak ada jalan bagimu untuk
mencari keridhaan mereka dengan mengikuti agama mereka, karena agama
Yahudi bertentangan dengan agama Nashrani, demikian pula sebaliknya,
dan tidak mungkin kedua agama ini bisa bersatu dalam individu manusia
pada satu keadaan. Yahudi dan Nashrani tidak mungkin bersatu untuk
meridhaimu kecuali bila engkau bisa menjadi seorang Yahudi sekaligus
Nashrani, akan tetapi tidak mungkin hal ini terjadi padamu
selama-lamanya, karena engkau adalah individu yang satu dan tidak
mungkin terkumpul padamu dua agama yang saling berlawanan dalam satu
keadaan. Dengan demikian, bila tidak ada jalan yang memungkinkan untuk
mengumpulkan kedua agama itu padamu dalam satu waktu, maka tidak ada
jalan bagimu untuk mencari keridhaan kedua golongan tersebut. Bila
demikian keadaannya, maka berpeganglah engkau dengan petiunjuk Allah
yang dengannya ada jalan untuk menyatukan manusia.” (Jamiul
Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, Lil Imam Ath-Thabari, hal.
1/517, Darul Fikr, 1405 H).
Adapun penyimpulan bahwa ini adalah pengkhususan
bagi Yahudi dan Nashrani pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, perlu mendatangkan dalil khusus dari Kitabullah dan As Sunnah
yang menyatakan hal itu. Sementara kita
ketahui, Yahudi dan Nashrani pada zaman sekarang jauh lebih jelek
daripada Yahudi dan Nashrani pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, karena penyimpangan mereka pada masa itu lebih sedikit
dibandingkan pada hari ini, mereka semakin jauh dan semakin menyimpang
dari agama mereka. Lihat perubahan dan penyimpangan yang
mereka lakukan terhadap kitab mereka yang menjadi sebab jauhnya mereka
dari kebenaran dalam Mukhtashar Kitab Idzharul Haq, oleh Al-Imam
Syaikh Rahmatullah ibn Khalilir Rahman Al-Hindi yang diringkas oleh
Dr. Muhammad Al-Malkawi, diterbitkan oleh Wazaratus Syu’unil
Islamiyyah Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah, 1416 H .
Di samping itu, anggapan bahwa Yahudi dan Nashrani
tidak diperangi karena mereka ahlul kitab dan yang diperangi adalah
agama kekufuran yang lain adalah jelas anggapan yang salah dan batil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan jelas menyatakan:
“Perangilah orang-orang
yang tidak mau beriman kepada Allah dan hari akhir dan tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta
tidak beragama dengan agama yang benar, dari kalangan ahlul kitab (Yahudi
dan Nashrani).” (At-Taubah: 29)
Hilangnya Al-Wala
wal Bara
Dianutnya teologi pluralis inklusif oleh sebagian
orang disebabkan tidak adanya Al-Wala dan Al-Bara pada diri mereka.
Al-Wala adalah memberikan loyalitas, kecintaan dan persahabatan,
sedangkan Al-Bara adalah lawannya yaitu menjauhi, menyelisihi,
membenci dan memusuhi.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullah
(seorang ulama besar terkemuka, anggota Majlis Kibarul ‘Ulama, juga
Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
berkata: “Termasuk pokok aqidah Islamiyyah
yang wajib bagi setiap muslim untuk menganutnya adalah berwala dengan
sesama muslim dan bara (memusuhi) musuh-musuh Islam. Ia mencintai dan
berloyalitas dengan orang yang bertauhid dan mengikhlaskan agama untuk
Allah dan sebaliknya membenci dan memusuhi orang yang berbuat syirik. Yang
demikian ini merupakan millahnya (jalan) Nabi Ibrahim 'alaihissalam
dan orang-orang yang mengikuti beliau, sementara kita diperintah untuk
mencontoh Nabi Ibrahim 'alaihissalam sebagaimana Allah berfirman:
“Sungguh telah ada bagi
kalian contoh teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya kerika mereka mengatakan kepada kaum mereka (yang kafir
musyrik): Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa
yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah
tampak permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya
sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Memiliki sikap Al-Wala dan Al-Bara merupakan agama
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai
kekasih-kekasih (teman dekat), karena sebagian mereka adalah kekasih
bagi sebagian yang lainnya. Dan siapa di antara kalian yang berwala
dengan mereka maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:
51)
Ayat di atas menyebutkan keharaman untuk berwala
dengan ahlul kitab secara khusus, sementara keharaman berwala dengan
orang kafir secara umum, Allah nyatakan dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh kalian
sebagai kekasih, penolong dan teman dekat.” (Al-Mumtahanah: 1)
Bahkan Allah mengharamkan seorang mukmin untuk
berwala dengan orang-orang kafir walaupun orang kafir itu adalah
kerabatnya yang paling dekat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kalian menjadikan bapak-bapak kalian dan
saudara-saudara kalian sebagai kekasih apabila mereka lebih mencintai
kekufuran daripada keimanan, dan siapa di antara kalian yang berwala
kepada mereka maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.”
(At-Taubah: 23)
“Engkau (wahai Nabi) tidak
akan mendapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan
Rasul-Nya walaupun orang tersebut adalah bapak-bapak mereka atau
anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau karib kerabat
mereka.” (Al-Mujadalah: 22)
Beliau melanjutkan: “Sungguh
(kita dapati pada hari ini) kebanyakan manusia jahil/bodoh terhadap
pokok yang agung ini, sampai-sampai aku mendengar dari sebagian orang
yang dikatakan berilmu dan melakukan dakwah dalam satu siaran
berbahasa Arab, ia berkata tentang Nashrani bahwa mereka adalah
saudara kita. Sungguh betapa jelek dan bahayanya kalimat ini!”
Sebagaimana Allah mengharamkan berwala dengan
orang-orang kafir musuh aqidah Islamiyyah, sebaliknya Allah mewajibkan
kita untuk berwala dan mencintai kaum mukminin. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
“Hanyalah wali
(kekasih/penolong) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman yang mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka
ruku kepada Allah. Barangsiapa yang berwala kepada Allah, rasul-Nya
dan orang-orang beriman maka sesungguhnya tentara Allah itulah yang
menang.” (Al-Maidah: 55)
“Muhammad adalah Rasulullah
dan orang-orang yang bersama beliau amat keras terhadap orang –orang
kafir dan saling berkasih sayang di antara sesama mereka.” (Al-Fath:
29)
“Hanyalah orang-orang mukmin itu bersaudara.”
(Al-Wala wal Bara fil Islam, hal. 3-6, Darul Wathan, 1411 H)
Karena tidak adanya sikap Al-Wala dan Al-Bara yang
tepat, mereka bergaul bebas dengan kaum kafirin, para orientalis
misionaris Barat bahkan mereka bangga ketika mereka dapat menimba ilmu
di negeri Barat yang notabene kafir! (Asyiknya Belajar Islam di Barat,
wawancara bersama Luthfi Assyaukanie, www.islamlib.com, 8/3/2004).
Semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin secara umum dari makar
yang dilakukan oleh para thaghut kaki tangan iblis ini.
Wallahul musta’an.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Yayasan Wakaf Paramadina dengan bukunya Fiqih
Lintas Agama, Jaringan Islam Liberal dan seluruh penyeru pluralitas
agama yang tergabung dalam organisasi, LSM, atau individu, mereka
adalah para Thaghut Pluralis dan Inklusif antek-antek Zionis Salibis.
Thaghut adalah segala sesuatu yang diikuti, ditaati
ataupun dibadahi secara berlebihan dan melampaui batas. (Al-Ushuluts
Tsalatsah, hal. 15, Darul Wathan 1414 H)
Pluralisme adalah pemahaman yang memandang semua
agama sama meskipun dengan jalan yang berbeda namun menuju satu
tujuan: Yang Absolut, Yang terakhir, Yang Riil. Inklusivisme adalah
pemahaman yang mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga
suatu tingkat kebenaran (demikian keterangan mereka dalam Fiqih Lintas
Agama, hal. 65, Paramadina, Juni 2004).
2 Umat yang ada di zaman beliau dan setelah zaman
beliau sampai hari kiamat (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 2/188)
3 Lihat beberapa bentuk perubahan dan penyimpangan
yang mereka lakukan dalam Mukhtashar Kitab Idzharul Haq oleh Al-Imam
Asy-Syaikh Rahmatullah ibn Khalilir Rahman Al-Hindi yang diringkas
oleh Dr. Muhammad Al-Malkawi, Wazaratus Syu’unil Islamiyyah Mamlakah
Al-‘Arabiyyah Su’udiyyah, 1416 H.
4 Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya no. 4029 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam
Shahihul Jami’ no.8202 dan dalam komentar beliau terhadap Syarah
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah no .811