Nasr
Hamid yang melakukan kritik terhadap teks al-Quran, banyak persamaan dengan
fenomena dalam tradisi Kristen yang begitu digemari para sarjana Muslim. Baca
di CAP
Adia Husaini, MA ke-39 Pada tanggal 27
Desember 2003, Harian Republika
menurunkan artikel saya yang berjudul “Mendudukkan
Tradisi”. Seminggu kemudian, 3 Januari 2004, muncul tanggapan
terhadap artikel tersebut dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang belajar
di Department of Comparative Religion, Western
Michigan
University. Ia juga penulis buku
berjudul Nasr Hamid Abu Zaid dan Kritik Teks Keagamaan.
Salah satu masalah yang mendapat sorotan adalah kritik terhadap Nasr Hamid
Abu Zaid oleh Dr. Mustha Tajudin, pakar Ulumul Quran asal Maroko, yang
sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Musthafa yang
pernah berdebat secara terbuka dengan Nasr Hamid di Maroko memberikan
kritikan tajam terhadap pendapat-pendapat Nasr Hamid. Karena sosok Nasr Hamid
itu sekarang sangat popular di dunia internasional, termasuk di Indonesia,
maka kiranya perlu kita pahami sedikit latar belakang kehidupannya. Beberapa
bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ia memang menekuni bidang
Bahasa Arab dan Ulumul Quran. Meskipun kemudian melarikan diri dari Mesir ke
Belanda, namun dalam satu wawancara, dia menyatakan bangga, karena telah
mendidik banyak cendekiawan, termasuk beberapa dari Indonesia. Tahun 1972, ia
menjadi asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Pada tahun 1975-1977, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford Foundation untuk
studi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-1979 ia belajar di
Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Berbeda dengan banyak ulama atau
cendekiawan Muslim, Nasr Hamid banyak menulis tentang kritik terhadap teks
al-Quran, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible. Tentu, bagi kaum
Muslim, kritik teks (textual Criticism)
terhadap al-Quran adalah sesuatu yang aneh.
Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di Barat. Dr.
Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30
tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on
the New Testatement”. Maka, jika teks-teks Bible sudah begitu
banyak dikritisi, muncul pertanyaan di kalangan orientalis, mengapa teks-teks
al-Quran tidak dapat diperlakukan yang sama? Menurut mereka, bukankah
al-Quran juga sebuah “teks”? Apa bedanya dengan Bible?
Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd
R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan
perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything
between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin)
says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a
history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has
been out of this discussion. The only way to break through this wall is to
prove that the Koran has a history too.”
Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan
keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak
berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka
harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek
historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan
kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha
“revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah.
Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoen, dan beberapa
lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The
Koran: A Very Short
Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid –yang dia
tulis sebagai “a Muslim secularist” –tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of
the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took
for granted historically specific aspects of their language and culture. The
Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a
phrase Abu Zayd used several times…” (Pendapat Lester dan Cook
dikutip dari buku The History of
the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New
Testament, karya Musthafa A’zhami (2003).
Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada
pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang
disebut sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica
menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang
interpretasi Bible (the study of the
general principle of biblical interpretation). Tujuan dari
hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.
Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah
menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.
Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam
Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai pengarang
al-Quran? Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834),
merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap
pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya.
Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk memahami teks.
Tentang al-Quran, Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai penerima
wahyu, pada posisi semacam “pengarang” al-Quran ini. Ia menulis dalam
bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril
kepada seorang Muhammad yang manusia.
Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah
bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari
masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik
dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.
Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks
pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan
dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap
harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah
bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya.
Tentang konsep wahyu dan Muhammad ini, ditulis dalam buku “Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan”
(2003:70), “ Mereka memandang al-Quran – setidaknya sampai pada tingkat
perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk
kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai
kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan
sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan
linguistiknya.”
Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan
sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih sejalan dengan
pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut agama Islam
sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”,
umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Tokoh misionaris terkenal Samuel M.
Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul “Islam: A
Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907), sebagai “studies on the Mohammedan religion and the needs
and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian
Missions”.
Karena itu, mestinya penyebaran pendapat tentang al-Quran yang “nyeleneh”
seperti itu dipikirkan dan didiskusikan secara serius dengan para ulama dan cendekiawan
Muslim lainnya. Sebab, pendapat seperti ini membawa dampak yang serius dalam
pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana ditulis dalam sampul
buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa “Dengan pembongkaran ini, kajian
atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan
konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran.”
Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar
tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik
makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar
menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya,
untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang
dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika
itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif,
hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak
menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui
Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau
ma’shum.
Al-Quran menyebutkan: “Dan dia
(Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang
diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang
seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena
beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6).
Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai
penyampai. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa
diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak
tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun
sesuatu yang baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam
bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami
kaum Musyrik Arab waktu itu.
Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah berkembang
lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament,
(London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New
Testament texts were meant to say by the authors when they were first
written… we must first understand the historical situation in which they were
first written.”
Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud oleh teks
Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat kitab
itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di Madras,
India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap al-Quran
dilakukan dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism).
Sell sendiri, dalam karyanya Historical Development of the Qur’an sudah
menggunakan metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas
al-Qur’an. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing
Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928).
Pertanyaan kita, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran? Sebagaimana
Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama. Posisi dan
kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda, sehingga
tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai
hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Tetapi, sekarang sudah begitu
banyak yang mengecam kitab-kitab tafsir para ulama dan mengajukan tafsir baru
metode hermeneutika. Dalam sebuah buku hermeneutika yang terbit di Indonesia,
penulisnya mencatat: “Apalagi sebagian
besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar
atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam
secara moral, politik, dan budaya.”
Nasr Hamid yang seorang hermeneut, juga mengecam keras metode tafsir kaum
Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi,
Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas Diraasah fii Uluum al-Quran:
bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama
kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan masa keemasan,
kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Mereka menyusun sumber-sumber
pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari
Rasulullah saw, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat
tabi’in, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir
bahasa.
Fenomena Nasr Hamid dan para pendukungnya di Indonesia perlu dikaji secara
serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Mengapa pemikiran yang
“nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa dalam tradisi
Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim. Beberapa
diantaranya menjadi fanatik dan marah-marah kalau tokoh pujaannya dikritik.
Dalam beberapa buku tentang Nasr Hamid yang terbit di Indonesia ditulis
sejumlah pujian terhadapnya. Ia digambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis,
progresif, dan sebagainya, sementara pengritiknya diposisikan sebagai
ortodoks, fundamentalis, dan sebagainya. Seolah-olah ia adalah seorang
“mujtahid” abad ke-21. Misalnya ditulis dalam sebuah buku tentang dia: “Kendati ia harus diseret ke pengadilan dan
diharuskan bercerai dengan istrinya karena dianggap keluar dari Islam, namun
gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya.”
Dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia ditulis: “Buku ini merupakan salah satu sayap penafsiran
radikal yang menolak al-Quran didekati secara dogmatis-ideologis. Sebagai
sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran atas Konsep Teks dan Wahyu
melalui metode analisis teks.”
Para pendukung Nasr Hamid bukanlah manusia sembarangan. Mereka rata-rata para
sarjana agama keblinger dan beberapa diantaranya aktif di organisasi Islam terkenal.
Ada yang sejak kecil hidup di pesantren dan berasal dari keluarga tokoh
Islam. Memang sering muncul pertanyaan, mengapa orang yang sama-sama belajar
al-Quran justru kemudian memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda
terhadap al-Quran? Secara ekstrim, banyak kasus semacam ini terjadi. Para
orientalis begitu banyak yang mengkaji al-Quran, namun justru mereka ingin
meruntuhkan otoritas al-Quran.
Nama-nama Arthur Jefry, Noldeke, dan sebagainya, sudah sangat terkenal dalam
kajian tentang al-Quran. Arthur Jefry, misalnya, mendesak agar tafsir kritis
terhadap teks al-Qur’an diwujudkan dengan menggunakan metode penelitian
kritis modern. Jefry mengatakan, bahwa apa yang kita butuhkan, adalah tafsir
kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern
sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir
al-Qur’an. Mestinya, karya-karya orientalis seperti ini dikritisi, sebab
banyak diantara mereka yang memiliki misi dan motif tidak baik dalam mengkaji
al-Quran. Musthafa A’zhami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation:
A Comparative Study with the Old and
New Testament, membongkar habis-habisan serangan orientalis dan
berbagai kalangan lain terhadap al-Quran.
Fenomena semacam ini sekali lagi membuktikan, bahwa sedang terjadi proses
liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di
Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim
sendiri kini siap membongkar-bongkar apa yang selama ini telah “selesai”
dalam konsep Islam. Tidak perlu orientalis atau misionaris yang turun tangan.
Banyak diantara pelakunya yang kemudian mendapat keuntungan di dunia.
Apalagi, penguasa dunia yang sedang berkuasa dan kaya raya, pun suka terhadap
mereka. Wallahu a’lam. (KL, 9 Januari 2004).
|