MELAWAN
“Setan JIL” DI SARANGNYA
Oleh : Erros Jafar 20 Apr, 05
- 7:21 am
http://swaramuslim.net/EBOOK/more.php?id=1293_0_11_0_M
Pengantar Redaksi:
Pada tanggal 16 April
2005 lalu, berlangsung acara bedah buku
di UIN (alias IAIN) Jakarta. Buku
yang dibedah berjudul “Ada Pemurtadan di IAIN” karya Hartono Ahmad
Jaiz.
Pemrakarsa acara tersebut adalah
anak-anak JIL.
Hartono Ahmad Jaiz, sempat terkejut
dengan banyaknya audiens yang menghadiri acara ini.
Jumlahnya seribu lebih. Dan yang lebih
mengagetkan lagi, massa yang banyak itu justru berasal dari luar UIN,
yaitu mereka yang kontra JIL. Tentu saja kehadiran mereka itu
membuat komunitas JIL (dan anak-anak UIN pro JIL) menjadi ciut.
Sayangnya, atau culasnya, moderator
yang pro JIL tidak memberi kesempatan
kepada audiens untuk terlibat dalam tanya jawab. Meski demikian, kedua ‘pakar’ JIL kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz dan
Muhammad At-Tamimi.
Kehadiran audiens yang kontra JIL
dengan jumlah yang tak terduga itu, nampaknya menunjukkan bahwa generasi muda Islam
kita memang masih banyak yang waras. Kedua, menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis
Islam di internet yang turut
mensosialisasikan adanya acara tersebut, ternyata cukup efektif. Ketiga,
ini merupakan pertolongan Allah SWT.
Sayangnya, ketika ‘cendekiawan dan
misionaris JIL’ ini keok -bahkan di sarangnya
sendiri- tidak ada satu pun media massa yang
mempublikasikannya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk
mempublikasikan laporanpandangan mata di bawah ini yang disusun oleh akh
Abu Qori.
Mau Menyanggah Malah Kejeblos
Maksud hati mau menepis dan
menyanggah isi buku Ada
Pemurtadan di IAIN, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para misionaris JIL itu
malah terperosok ke dalam kubangan yang mereka
sediakan sendiri. Forum bedah buku yang semula diharapkan dapat ‘membantai’
Hartono Ahmad Jaiz malah menjadi ajang pembuktian bahwa di IAIN memang ada pemurtadan. Hujjah-hujjah
yang diajukan para misionaris JIL itu justru secara tidak langsung malah
meneguhkan adanya proses
pemurtadan di IAIN.
Acara bedah buku karya Hartono
Ahmad Jaiz itu berlangsung di Masjid Kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat
Jakarta, Sabtu 16 April 2005
bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal
1426 Hijriah.
Tak dinyana, acara yang sepi
promosi ini ternyata dihadiri 1000-an peserta,
sebagian besar justru berasal dari luar
kampus UIN. Sehingga, perhelatanyang semula dirancang
bertempat di Fak Ushuluddin dan Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens,
dipindahkan ke Masjid, khususnya di lantai 2 dan 3.
Pembicara empat orang. Dua pembicara yang membuktikan
adanya pemurtadan di IAIN adalah Hartono Ahmad Jaiz (penulis buku yang dibedah) dan Muhammad
At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan dua pembicara lainnya -yang tampaknya membawa misi untuk
menepis danya pemurtadan di IAIN namun
justru hujjah-hujjahnya menggunakan pemahaman, materi, dan metode orang murtad- adalah Ulil Abshar
Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Abdul Muqsith Ghazali MA
dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter Draft
Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan
Dr Musdah Mulia yang telah dicabut
Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam.
Acara berlangsung seru, ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan
bertalu-talu, meski moderator sudah
mengingatkan agar tidak bertepuk tangan di dalam masjid.
Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh Muqsith dan Ulil justru menambah bukti bahwa apa-apa
yang ditulis di dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta setebal 280
halaman itu, memang
benar adanya.Karena, hujjah-hujjah dan metode dua pembicara yang pro IAIN dalam
membantah buku itu memang diambil dari
materi dan pemahaman kelompok ataupun
tokoh yang sudah dinyatakan kekufurannya oleh
para ulama. Atau, mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang tanpa dasar, lalu sampai berani menolak
hadits yang shahih, dan hukum Allah swt
dalam Al-Qur’an. Di samping itu masih
disertai dengan kebohongan-kebohongan
untuk memberikan cap-cap sangat buruk
kepada penulis buku. Akibatnya, ketika kebohongan-kebohongan itu dibalikkan oleh penulis
buku, maka terkuaklah kesempurnaan bahwa produk dan bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk
membela IAIN justru lebih buruk dari
yang telah ditulis di buku itu.
Artinya, isi buku Ada Pemurtadan di IAIN tidak lebih seram dibanding dengan kenyataan yang
ditemukan di lapangan, melalui forum
bedah buku tersebut. Membela pemurtadan
dengan pemahaman kufur Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela IAIN ketika bedah buku itu adalah:
1. Berbohong
dalam rangka memberikan stigma sangat buruk kepada penulis buku.
2. Membela
kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan justru ditawarkan kepada
penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan mereka meng-klaim bahwa
di IAIN tidak ada pemurtadan, yang
terjadi sesungguhnya adalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang dijadikan hujjah adalah penafsiran
orang-orang yang sudah divonis oleh para
ulama sebagai kafir ataupun zindiq
yaitu Ikhwanus Shofa’ dan Ibnu ‘Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul
adyan (menyamakan semua agama) dan
wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan).
3. Melecehkan
penulis -yang banyak mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi- dengan tuduhan terlalu ‘memberhalakan’ huruf-huruf Al-Qur’an. Tuduhanitu didibalikkan oleh penulis: karena
penulis mengikuti Al-Qur’an, maka pada
hari Jum’at ia pun melaksanakan shalat
Jum’at; sedangkan Ulil, justru leha-leha
berseminar dengan orang Kristen membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam
10 hingga 13 dan tidak shalat Jum’at,
tandas Hartono Ahmad Jaiz sambil
mengangkat Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa
Ulil tidak Shalat Jum’at.
4. Memberi
cap buruk kepada penulis sebagai orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar
Al-Qur’an, karena penulis tak membolehkan nikah beda
agama. Penulis menguraikan
tentang dosen-dosen IAIN, Dr Zainun Kamal dan Dr Kautsar Azhari Noer,
yang menikahkan wanita muslimah dengan
lelaki Nasrani, dan lelaki muslim
dengan wanita Konghucu. Pernikahan itu bertentangan dengan Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah (60)
ayat 10 dan Al-Baqarah (2) ayat 221.
Muqsith yang alumni dan dosen UIN Jakarta justru membela dosen-dosen IAIN
yang melanggar ayat-ayat itu dan
malahan memberi cap buruk kepada penulis
buku. Maka, Muhammad At-Tamimi dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ayat
itu sebagai sikap orang gila yang berbicara agama tetapi dengan dalih “menurut saya".
5. Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena
tuduhan-tuduhan Muqsith dan Ulil itu tak
sesuai fakta, maka lebih drastis lagi, Muqsith membela ajakan dzikir dengan
lafal anjing hu akbar, dengan mengemukakan bahwa dzikir dengan lafal anjing hu akbar pun kalau
niatnya… (tidak jelas
suara Muqsith karena suara hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya (
maqam di sisi Iblis…). Ungkapan itu menjadikan para hadirin berteriak gemuruh,
menyiratkan kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata
seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana lagi para mahasiswa asuhannya nanti.??
6. Ulil
berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa hadits
itu shohih, hanya karena keberanian menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa dirinya menulis di
Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhamad At-Tamimi menyebut Ulil sebagai
orang gila pertama dan Muqsith orang
gila kedua. Karena Allah swt telah
menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas
murtad, kufur. Berbohong atau memutar
balikkan Kebohongan yang dilontarkan,
di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai menulis:
Si jompo Sinta Nuriyah. “Penulis ini
akhlaqnya masih akhlaq orang beriman
atau tidak. Kalau orang beriman tentunya
tidak menulis seperti itu,” kata Muqsith.
Kebohongan itu dijawab oleh Hartono
Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si
jompo. Yang ada hanyalah penjelasan
tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut Hartono, “yang tidak
berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau siapa?” Dan juga, “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal
anjing hu akbar (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian orang yang tidak menulis si jompo dikatakan
menulis si jompo dan dianggap tidak
berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu dipertanyakan itu
siapa.” Kebohongan yang kedua namun
tidak sempat dibantah karena sempitnya
waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro (karangan As-Sya’roni) disebutkan, menurut pendapat
Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan depan dan belakang).
Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Muqsith yang dosen dan alumni UIN Jakarta itu apakah ingin mengkampanyekan agar wanita-wanita di
bumi ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN
itu telah menyembunyikan sesuatu.
Dalam kitab Mizanul Kubro itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita
budak (al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali mukanya
dan kedua telapak tangannya, menurut
pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya.
Menurut Abu Hanifah, seluruh tubuh wanita
adalah aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak
kakinya. Riwayat lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali
mukanya saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1,
halaman 170, cetakan I, Darul Fikr
Beirut, dalam hal syarat sahnya sholat
tentang menutup aurat). Aurat
wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan lututnya
seperti aurat laki-laki. Ini menurut
pendapat Malik, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang
lain bahwa auratnya (wanita
budak/al-ammah) adalah qubul dan dubur
saja. (ibid). Dalam Kitab Mizanul Kubro itu
dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus sholih adalah yang pertama (aurat budak wanita, antara
pusar dan lutut) karena tidak adanya
syahwat untuk melihat budak wanita di
luar sholat, lebih-lebih ketika sholat.
(ibid).
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul
Kubro bab shalat itu dikutip pendapatnya
bahwa aurat wanita merdeka (al-hurrah)
adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan
dua telapak tangannya atau bahkan seluruh tubuh kecuali muka saja
Perlu dijelaskan kebohongan Muqsith dengan kenyataan,bahwa wanita
sekarang, pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok
bisa-bisanya Muqsith Ghozali dosen dan
alumni UIN Jakarta ini mengatakan bahwa
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu
hanyalah qubul dan dubur. Itulah cara berbohong untuk
mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah memperlihatkan pusarnya itu agar lebih
bertelanjang lagi.
Kebohongan ketiga, Muqsith menganggap Hartono Ahmad Jaiz melanggar prinsip-prinsip dasar
Al-Qur’an, karena Hartono mengharamkan nikah beda agama. Perkataan itu sendiri sudah menyembunyikan
sesuatu. Dalam buku itu sudah ditulis,
yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi lelaki kafir, Non Islam,Yahudi-Nasrani dan lainnya. Juga lelaki
Muslim menikahi wanita Konghucu. Lalu Muqsith mengatakan bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan nikah
beda agama. Itu juga menyembunyikan ayat, hingga dibantah dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa
secara spontan dengan mengacungkan Al-Qur’an. Kalau Muqsith tidak menolak Al-Qur’an,
tentunya mau mengakui, Ayatnya sudah
jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6.
Dengan cara menyembunyikan ayat, hingga justru
menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah disebutkan itu) adalah satu
bukti justru adanya faham yang
dihembuskan dari UIN Jakarta adalah yang
menentang ayat Al-Qur’an itu. Membela kekufuran dengan kekufuran Lebih nyata
lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa
IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi
penafsiran.
Lalu yang diangkat sebagai contoh adalah faham Ikhwanus Shofa’ yang
tidak perlu melaksanakan yang
fardhu-fardhu/wajib-wajib dan cukup dengan bertasbih.
Hartono Ahmad Jaiz membalikkan
kepada Muqsith, justru faham yang tidak perlu mengerjakan yang fardhu-fardhu/wajib-wajib itulah yang
sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya dalam Kitab
Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Al-Fatawa.
Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi yang dimulai dengan menukil
ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas, mengenai golongan ahli kebatinan yang
dihukumi sebagai zindiq yaitu: “Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara’ yang
umum adalah untuk para nabi dan orang awam. Adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas
(agama), sebaliknya mereka hanya
dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran
mereka.”
Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya
maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu
ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka
mengetahui hukum-hukum yang detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum
yang bersifat umum, seperti yang berlaku kepada
Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu yang terbuka (tajalla) kepadanya dan tidak
memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa.” Golongan ini juga menyebut:
“Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau
telah diberikan fatwa oleh para penfatwa.”
Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata:
“Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur, dibunuhlah
siapa pun yang mengucapkannya dan dia
tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui
dari syariat. Sesungguhnya Allah telah
menetapkan jalan-Nya dan melaksanakan
hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan
rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah
dan perkataan-Nya serta pengurai syariat
dan hukum-hukum. Allah
memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan
urusan ini hanya untuk mereka.”
“Telah menjadi ijma’ salaf dan khalaf bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Allah
yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang
berkata “Disana ada cara lain untuk
mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul” maka dia adalah
kafir, dihukum bunuh tidak diminta
bertaubat, dan tidak diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami’ li
Ahkam al-Quran jilid 11, halaman 40-41,
cetakan Dar al-Fikr, Beirut).
Gejala Pemurtadan di IAIN
Hartono Ahmad Jaiz menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di
antaranya buku Harun Nasution untuk IAIN
berjudul Islam Dipandang dari Berbagai
Aspeknya menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu.
Juga buku Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun Nasution untuk IAIN diantara isinya menyebut
Rifaat At-Tahtawi (Mesir) sebagai
pembaharu, dan bahkan dalam makalah
dosen IAIN di bawah bimbingan Harun Nasution
di SPS (Studi Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang
menghalalkan dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu ijtihad.
Ini adalah penyesatan. Mana ada pembaru
dalam Islam menghalalkan yang haram.
Padahal dalam hadits, ada potensi zina bagi mata, tangan, mulut, hati dan
dibenarkan atau dibohongkan oleh farji/ kemaluan kata Hartono.
Hal itu dibantah Abdul Muqsith Ghozali dengan kitab I’anatut Tholibin terbitan Toha Putra
Semarang, dengan dibacakan tentang
definisi zina, lalu Muqsith mengatakan,
kalau hasyafah (kemaluan lali-laki) ditekuk maka bukan zina. Begitu juga dengan
tangan. Hartono menjawab, “bagaimana ini, tentang zina, tangan punya potensi zina itu saya mengutip hadits
Nabi saw. Kenapa
hadits Nabi dibantah pakai kitab I’anatut
Tholibin? Ya seperti inilah keluaran dari IAIN,” tegas Hartono dengan menuding Muqsith yang di
sebelah kanannya.
Attamimi dengan suara lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang menolak
hadits, yang walaupun shohih di kitab
Bukhori, namun menurut Ulil tidak sesuai, maka
ulil menolaknya. Contohnya hadis tentang orang sholat jadi batal karena
adanya yang lewat yaitu anjing, orang
perempuan, dan khimar/keledai. Kata Ulil, “di
sini perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak,
walaupun itu ada di Kitab Shohih
Bukhori,” kata Ulil.
Kata At-Tamimi, “apakah anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam hal ilmu
agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan ‘pendapat
saya’. Di ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan ‘pendapat saya’ .
Memang anda ahli apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang
hadits. Bahkan kumpulkan seluruh orang
JIL, cukup saya hadapi sendirian. Tidak bisa bicara agama kok ‘menurut saya’, ‘menurut saya’. Bukan hanya perempuan yang disamakan dengan binatang, semua laki-laki yang tidak percaya kepada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti anda ini dinyatakan dalam
Al-Qur’an seperti binatang,” seru At-Tamimi dengan lantang, disambut dengan suara gemuruh hadirin.
Dua
orang yang membela IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada Pemurtadan di
IAIN itu setelah gagal memberikan cap-cap buruk karena dibalikkan dengan telak, maka justru menolak hukum Allah
(sebagian ditentang, dan bahkan
dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak hadits walaupun diakui shahih.
Di situ justru pada dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang ada
pada ungkapan-ungkapan mereka sebagai alumni, dosen dan pembela IAIN bahwa sebenarnya IAIN memang jelas ada pemurtadan.
Jadi, mereka mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi justru terperosok
pada penguatan bahwa memang benar ada
pemurtadan di IAIN secara sistematis. Itu tentu
saja sangat berbahaya.
Buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah pertama
kali di Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005.
Pembicara Dr Roem Rowi dosen pasca sarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen tafsir; dan penulis buku Hartono Ahmad
Jaiz. Hadirin sekitar 500 orang. Dr Roem Rowi mengakui, di IAIN dia mengajar
tafsir, namun mahasiswanya dirusak oleh pemikiran-pemikiran yang diajarkan dalam materi pemikiran Islam (dan
sejarah kebudayaan Islam), yang itu justru materi kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut.
Sehingga, ketika ditanya peserta bedah buku, ke mana untuk mendidikkan
anak di perguruan tinggi yang
islami, Dr Roem Rowi tidak memberikan rekomendasi, hanya menunjuk
di antaranya Universitas Islam Internasional di Malaysia. Sedangkan ketika
ditanya tentang kurikulum, seberapa peran menteri agama dalam membuat kurikulum
di IAIN, Roem Rowi menjawab, menteri agama masa lalu ya hanya mengikuti Dr
Harun Nasution. “Seakan perkataan Harun Nasution itu qoululloh (firman Alloh) bagi menteri agama yang lalu,” ujar
Roem Rowi yang meraih gelar doktornya
dari Universitas al-Azhar Mesir ini.
Disebut Ada Pemurtadan di IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya,
materi kuliahnya, sistem
pengajarannya, cara mengajarnya, dan dosen-dosennya banyak yang
tidak sesuai dengan sistem pemahaman Islam yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an,
As-Sunnah, dengan manhaj salafus shalih. Tetapi yang dijadikan mata kuliah dasar justru sejarah pemikiran
Islam dan sejarah kebudayaan Islam, yang semuanya bukan dasar Islam, dan
disampaikan tidak secara ilmu islami, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan sistem pemahaman yang
benar. Diajarkan secara liar, yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga
boleh berkomentar apa saja sampai
menghina para sahabat sekalipun. Akibatnya, alumni IAIN tidak bisa membedakan
antara madzhab-madzhab (yang perbedaannya itu dalam wilayah furu’/ cabang, jadi
boleh saja) dengan sekte-sekte sesat
(firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal pokok yang benar. Bahkan sampai
tak bisa membedakan antara mukmin dengan
kafir, ketika diajari tasawuf falsafi
dan apa yang disebut filsafat Islam (semuanya
dalam materi kuliah sejarah pemikiran Islam dalam mata kuliah dasar).
Akibatnya, mereka menyamakan semua agama. Itulah sebenar-benarnya pemurtadan
secara sistematis lewat jalur perguruan
tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka kurikulum, sistem
pengajaran, materi, metode, dan dosen
pengajarnya perlu ditinjau ulang.
Pembelajaran
dosen-dosen IAIN ke Barat untuk studi Islam pun perlu dihentikan, menurut penulis buku, karena itu
menjadi sumber utama pemurtadan tersebut.
Usai bedah buku di UIN Jakarta, hadirin pun berjama’ah shalat dhuhur, tanpa ada dosen ataupun
mahasiswa UIN yang maju jadi imam, hingga Ustadz Mustofa Aini seorang hadirin alumni Universitas Islam
Madinah maju untuk mengimami setelah agak lama ditunggu-tunggu tak ada yang
maju.
Ulil,
Muqsith dan sebagian besar panitia dari
BEM Fak Usuhuluddin dan Filsafat UIN
Jakarta tidak tampak ikut shalat berjama’ah. Mereka berada di mihrab
sebelah imaman. Kemudian Ulil diiringi para panitia turun dan pulang setelah
hadirin yang shalat berjama’ah telah
bubar pulang.
“Kampus Islam tidak mencerminkan Islam,” keluh di antara yang hadir.
Komentar: 2 Auliya Iblis besar
telah tercampakkan namun tidak mau bertaubat, malah kian merajalela mencari
pengikut sebanyak-banyaknya
::BACK TO HOME::