Munculnya intelektual yang pendapat-pendapatnya disebarluaskan ke public
yang menyesatkan bila dibiarkan akan melahirkan para intelektual yang jahil.
Baca CAP ke-56 Adian Husaini, MA
Dunia intelektual Indonesia, sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah
kelompok bernama ?Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah?, disingkat
JIMM. Adalah sesuatu yang menggembirakan, bahwa di kalangan organisasi Islam,
muncul semangat ilmiah, semangat untuk mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke
tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, kita tahu,
masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan Islam. Banyak ayat al-Quran
dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan pentingnya peran ilmu dalam
kehidupan manusia. Karena itu, kaum Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu
sepanjang hayat. Orang-orang yang berilmu, yang disebut ulama, sangat
dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang yang pintar tetapi yang juga
bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang jahat (ulamaa?
al-suu?), sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya
salah, maupun ulama yang perilakunya jahat.
Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan,
intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan
dituruti masyarakat, perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat,
teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi,
ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang
yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan
masuk neraka.? (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).
Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa
Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam
berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu"
ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan,
"Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah
ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah
dengan perkataan, "Saya belum tahu".
Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa
tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama,
bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa
juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40
masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih
berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram,"
kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik
sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar itu,
sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan
pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat
perbuatannya.
Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda
muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga
perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan
sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan
yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
(JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari
Kejumudan Penafsiran Islam?.
Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat
yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:
1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang
otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad
semasa hidup.?
Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah,
yang memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw
adalah uswatun hasanah; contoh yang baik??
Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual
Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw,
dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan
pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya
saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang,"
katanya.
Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas
Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang
menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya, menggunakan
pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita
hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri
berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan
dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin
Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat,
dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.?
Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di
Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang
berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam
al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak
kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia
mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!
Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum,
terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya,
jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika
hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT
berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali
(dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3).
Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan
manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan,
dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada
Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian
perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya,
kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.?
Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling
memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit
memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam
menafsirkan al-Quran.
2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya
persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan
pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa
dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara
substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah
kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang
Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar
ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan
terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.
Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat)
mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang
banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang
dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.?
Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.
Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang
mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah,
dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai
?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam sudah
intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga
para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang
intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi
penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika
kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.
Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad
dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki
sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman
kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya
sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur
tentang masalah ini melimpah ruah.
Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum
al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar,
seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan
karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para
intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad
tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad
itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah dirinya memang
layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith,
serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar
seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti
Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja
mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari
Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi
hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga
bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga
mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi
beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan
Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui otoritas ilmuwan
lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.
Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap
cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu
saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak
kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia
Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya
empat mazhab itu saja.
3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu,
sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta
senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari
makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan
senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr
Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan.
Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku
sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu
dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan
pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan
zaman yang terjadi.?
Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin,
karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan
Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita
telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain,
banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di
Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr
Hamid yang berjudul ?Naqd al-Khitab al-Diiniy?, membuktikan,
bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena
itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam
terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya
dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah
berbagai berbagai ironi.
Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?,
mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu
apa-apa.
Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai,
bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan
menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in,
para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari, al-Ghazali, dan
sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin
al-Ayyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib,
serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole
Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic
Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan
bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para
ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika
itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.
Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas
dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam
bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun,
kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun
masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah
terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu
mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu
tidak, sampai kapan pun!
Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang
sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke
tengah masyarakat dengan mengatasnamakan ?intelektual? dari organisasi Islam
tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak kalah
pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih
berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir
salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa
Indonesia. Wallahu a?lam. (KL, 26 Mei 2004).
|