KEKALAHAN
INTELEKTUAL SEORANG ABDUL MUQSID AL-GHAZALI
(Tanggapan
Terhadap Tulisan Absurditas Khilafah Islamiyah)
Membaca
“Absurditas Khilafah Islamiyah” tulisan saudara Abdul Muqsid di harian Indo
Pos (4/4/05), yang juga dimuat dalam website JIL, sungguh sangat menggelikan.
Kelihatannya, Muqsid telah mengalami kegelisahan dan dendam yang luar biasa
setelah diskusi yang diselenggarakan di UIN Jakarta tanggal 10 Maret 2005 itu.
Saya yakin, semua yang hadir pasti tahu, kalau argumen-argumen yang diusung
Muqsid justru dengan mudah bisa dipatahkan(…sangat memalukan…...!!!) Bukan
sebaliknya, seperti yang dikatakan oleh Muqsid dalam tulisannya.
JAWABAN
Pertama,
argumen bahwa Khilafah bukan rukun iman juga bukan rukun Islam, karena itu
konsep Khilafah tidak wajib diyakini. Argumen yang sama sebelumnya juga
disampaikan oleh Muqsid di forum tersebut. Kalau dengan argumen ini Muqsid
ingin menolak konsep Khilafah, termasuk kewajiban mendirikannya, maka banyak
konsep Islam yang harus ditolak, karena bukan rukun iman dan juga rukun Islam. Misalnya, adil terhadap sesama manusia ---yang biasanya justru selalu diusung
JIL--- adalah konsep Islam yang wajib dilaksanakan, meski bukan rukun iman dan
rukun Islam. Pertanyaannya, apakah kalau bukan rukun iman dan rukun Islam
kemudian menjadi tidak wajib? Kalau menggunakan logika Muqsid, memang bisa
disimpulkan, bahwa menegakkan adil terhadap sesama manusia jelas tidak wajib.
Ini jelas logika yang dangkal sekali. Termasuk tidak wajib menuntut ilmu,
tidak wajib menghormati kedua orangtua, tidak wajib menghormati guru dan
ustadz, tidak wajib amar ma’aruf nahi mungkar, suami tidak wajib menafkahi
istri, orang tua tidak wajib pula mendidik anak. Sebab bukankah semua itu
tidak terdapat dalam rukun iman dan rukun islam ? Jadi jelas logika seperti
ini sangat lemah.
Kedua, argumen
sulitnya mencari rumusan Khilafah, termasuk belum disepakatinya rumusan
tersebut di kalangan ulama', khususnya NU dan Muhammadiyah. Cara berfikir
seperti ini kelihatannya ingin menyesatkan para ulama' termasuk menyeret NU
dan Muhammadiyah sebagai Ormas dalam pola berpikir yang diinginkan oleh Muqsid. Mengapa? Karena, rumusan Khilafah itu sebenarnya sudah ada dalam buku-buku,
seperti al-Ahkâm as-Sulthâniyah, karya al-Mawardi, dan Ghuyats al-Umam, karya
al-Juwayni yang keduanya bermadzhab as-Syâfi'i, dan cukup familier di
kalangan NU, ataupun al-Ahkâm as-Sulthâniyah, karya al-Farrâ', dan as-Siyâsah
as-Syar'iyyah karya Ibn Taymiyah, yang keduanya bermadzhab Hanbali. Dan, nota
bene cukup familier di kalangan Muhammadiyah. Belum lagi, kitab-kitab ushűl
yang dikaji di pesantren-pesantren, baik di lingkungan NU maupun Muhammadiyah,
nyaris tidak ada yang tidak membahas Imâmah. Maka, menafikan rumusan Khilafah
yang jelas, termasuk seolah-olah rumusan itu hanya rumusan Taqiyuddin an-Nabhani
adalah jelas menyesatkan. Karena, tuduhan seperti itu telah menafikan, bahkan
maaf menganggap seolah-olah para ulama' saat ini ---termasuk di dalamnya para
ulama' NU dan Muhammadiyah--- sepertinya tidak mengerti apa-apa tentang konsep
dan hukum Khilafah.
Ketiga,
argumen syariah yang mana? Pertanyaan argumentatif ini sebelumnya ---di forum
tersebut--- telah dijawab, bahwa Khilafah bukan negara bangsa (nation state),
juga bukan negara mazhab. Tetapi, Khilafah adalah negara yang dibangun
berdasarkan akidah universal (Islam), yang bisa mengayomi seluruh bangsa, dan
diyakini oleh umat Islam di seluruh dunia dengan berbagai mazhabnya, baik dari
kalangan Ahlussunnah, Syi'ah, Mu'tazilah, Jabariyah, termasuk Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, Dzahiriyah, maupun yang lain. Tentu dengan
catatan, selama mazhab tersebut masih bisa diterima oleh Islam. Maka,
pertanyaan syariah yang mana? Jelas tidak perlu dikemukakan. Karena, selama
syariah itu syariah Islam, maka jelas layak diterapkan. Tinggal hukum mana
yang akan diadopsi, semuanya berpulang kepada wewenang Khalifah. Hanya saja,
Khalifah tidak akan mengadopsi mazhab tertentu, yang justru akan menyebabkan
Khilafahnya terjebak dalam bingkai negara mazhab. Karena itu, yang dilakukan
oleh Khalifah kemudian adalah mengadopsi hukum, bukan mazhab. Inilah yang
sebenarnya menjadi alasan Imam Mâlik ketika menolak al-Muwatha' untuk
dijadikan undang-undang negara oleh Abű Ja'far al-Manshűr. Bukan seperti yang
dilansir Muqsid, yang seolah-olah Imam Mâlik menolak keinginan Abű Ja'far al-Manshűr
untuk memformalisasikan kitabnya, dengan tuduhan seolah beliau menolak
formalisasi syariah. Kalau ini yang dimaksud, jelas ini merupakan kebohongan
luar biasa yang sengaja dilakukan oleh seorang Muqsid terhadap Imam Mâlik.(..Dasar
muqsid..goblok!!)
Keempat,
tentang pengalaman sejarah peperangan dalam Islam, seperti kasus Perang Jamal,
atau mihnah yang dialami oleh para imam besar dalam sejarah Khilafah. Maka,
harus dibedakan antara sejarah dengan konsepsi idealnya. Praktek sejarah yang
dilalui oleh manusia adalah cacatan kehidupan manusia, yang bisa salah dan
benar. Tentu, ada pengecualian bagi Rasul. Maka, menilai kelemahan dan
keunggulan konsepsi ideal tidak bisa dilakukan dengan menggunakan sejarah,
melainkan harus berpijak pada konsepsi idealnya. Sebagai konsepsi ideal, harus
diakui, bahwa Khilafah telah berlangsung selama 14 abad, dengan
pasang-surutnya. Lalu bagaimana mungkin, konsepsi ideal yang umurnya jauh
lebih panjang dibanding dengan konsepsi negara Kapitalis maupun Sosialis
dikatakan absurd untuk diselenggarakan? Bandingkan Uni Soviet, Komenwealt
Inggeris, atau Negara Federasi Amerika.
Bahkan,
pengakuan jujur pun datang dari sejarawan besar, seperti Will Durant: Islam
telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai
dari China, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan
sampai Maroko dan Spanyol. Islam pun telah menguasai cita-cita mereka,
mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya dan membangkitkan harapan di
tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah
mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang
memeluknya dan ber¬pegang teguh kepadanya pada saat ini sekitar 350 juta jiwa.
Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada
perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka (Will Durant,
The History of Civilization, vol XIII, p. 151)
Akhirnya,
kepada Muqsid saya katakan, jangan pernah malu dan ragu untuk meyakini konsep
Khilafah.
Ringkasnya
ABDUL MUQSID AL-GHAZALI
ingin memadamkan cahaya Islam namun cahaya Islam tak akan redup malah
kegoblokan dan kedustaan muqsid yang terlihat..!!!...sangat memalukan....!!!!
::IR. Hafidz
Abdurrahman::
::BACK TO HOME::