Diabolisme Intelektual
Diábolos adalah 'iblis. Sebagaimana kita
ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak
perintah Tuhan dan bersujud kepada Adam. Tapi dia bukan atheist atau ragu pada
Tuhan
Oleh
Dr. Syamsuddin Arif,MA *
Diábolos
adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur'an, cetakan
Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme"
berarti
pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa
Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27).
Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan
untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal
Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut
'kafir'? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan
tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana
orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu
kama ya'rifuna abna'ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk
Islam.
Jelaslah
bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan
dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah,
menurut dan melaksanakan perintah. "Knowledge
and recognition should be followed by acknowledgement and submission,
" tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan
karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia
membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap
dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah
Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak
sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya,
berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis
adalah 'prototype' intelektual 'keblinger'.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon
agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia
pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah
siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh
pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan
keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian
difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka
Iblis pun bertekad: "Sungguh
akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah
depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ?Abbas
ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan
menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti
terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan
cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur'an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995,
vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk
mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam
al-Qur'an sebagai berikut. Pertama,
selalu membangkang dan membantah
(6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau
menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan, meskipun dan
padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka
selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi
mempertahankan opininya. Sebab, yang penting
baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia
tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan
tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan
yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini
pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang
kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam
tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-'inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn
Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-'Aqa'id,
dalam Majmu? min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba'ah
al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik bersikap
takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini
dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147):
"Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)".
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur'an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis,
logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya,
orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat
al-Qur'an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan
sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan
standar ganda
(2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh
dan dungu (sufaha').
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa
kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat,
tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan
kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan
kesesatan, mereka justru menelusurinya" (7:146).
Ciri
yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan
diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja
memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan
dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan
seperti batil. Ataupun
dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan
yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain
bingung dan terkecoh.
Contohnya
seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme
agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi
pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan
konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma'tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama
halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap
al-Qur'an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan
membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan
tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif)
sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan
mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam
al-Qur'an 3:71, "Ya ahla l-kitab
lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta'lamun?"
Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang
zahirnya
Muslim.
Karena
watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut
juga Setan (syaytan),
kemungkinan dari bahasa Ibrani 'syatan', yang artinya lawan atau musuh (Lihat:
W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et
Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur'an memang
ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5,
17:53 dan 35:6). Selain pembangkang ('asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan
kurang ajar (marid dan
marid). Untuk menggelincirkan
(istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai
strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi
(yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah'wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta'uzz), menyeru (yad'u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk
kebatilan (zayyana lahum a'malahum),
membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan
iming-iming (ya'iduhum wa yumannihim),
memperdaya dengan tipu muslihat (dalla
bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian
(yuqi'u l-'adawah wa l-baghda'),
menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya'mur bi l-fahsya' wa l-munkar) serta
menyuruh orang supaya kafir (qala li
l-insani-kfur).
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan
konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya' al-syaytan
(4:76), ikhwan al-syaytan
(3:175), hizb al-syaytan
(58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan
pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi,
demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu
yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang
yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah
bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun
karakter dan perannya sama saja. Ada Fir'aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi
al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun
datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur'an
pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya
berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang
durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan,
maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (22:3-4). Maka
kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa "sesungguhnya
setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam
pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik"
(6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat
boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu
a'lam.
*Penulis
adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman
8527
::BACK TO HOME::