|
KEBOBROKAN TAFSIR HERMENEUTIKA
Drs. Hafidz Abdurrahman, M.A.
Akar Masalah Hermeneutika
Istilah Hermeneutika, dipinjam dari bahasa Inggris, hermeneutics; kata yang sama
sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani Kuno (Greek), hermeneutikos. Secara
harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles dalam karyanya, Peri
Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan De
Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan On
the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (w. 339 H/950 M), telah menerjemahkan
dan memberi komentar karya Aristotle tersebut dalam bahasa Arab dengan judul: Fi
al-'Ibârah.
Aristoteles sendiri ketika menggunakan kata Hermeneias, tidak mengunakannya
dengan konotasi istilah, seperti yang berkembang pada saat kini. Hermeneias yang
dikemukakannya, menyusul karyanya, Categorias, hanya untuk membahas fungsi
ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan
bahasa, seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence),
ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan gramatika. Ketika
membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun
mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi
itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan.
Secara harfiah, barangkali terjemahan al-Fârabi lebih pas, ketika hermeneuias
diterjemahkan dengan 'ibarah, yang mempunyai konotasi ungkapan bahasa dalam
menunjukkan makna tertentu. Inilah, barangkali makna harfiah hermeneutika yang
lebih tepat. Dan, pada awalnya hanya digunakan dalam konteks harfiahnya saja.
Perubahan makna Hermeneutika dari makna bahasa ke dalam makna konvensional
(istilah), pada dasarnya merupakan perkembangan yang terjadi kemudian. Perubahan
makna ini, disepakati oleh berbagai literatur perkamusan, dimulai sejak para
teolog Yahudi dan Kristen berusaha mengevaluasi kembali teks-teks dalam kitab
suci mereka. Sebuah disertasi doktoral mengenai hermeneutika menyatakan:
Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of
study concerned with developing rules and methods that can guide biblical
exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics'
became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant
theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics
into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow
specialization as a theological field to the higher ground of general
philosophical concerns about language and its understanding (Asalnya, istilah
Hermeneutika digunakan dalam bidang studi yang berkaitan dengan pengembangan
metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran kitab Injil. Selama tahun-tahun
pertama abad ke sembilan belas, Hermeneutika menjadi Hermeneutika Umum oleh
filsuf dan teolog Protestan, Friedrich Schleiermacher.
Schleiermacher telah menyulap Hermeneutika menjadi bidang kajian kefilsafatan,
dengan mengangkatnya dari kajian yang secara spesifik hanya membahas bidang yang
berkaitan dengan agama menjadi kajian yang mempunyai perhatian lebih tinggi
terhadap filsafat umum tentang bahasa dan pemahamannya).
Perubahan makna hermeneutika dari konteks teologi ke dalam konteks filsafat
telah dibidani oleh filsuf Jerman, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Filsuf
Protestan inilah yang dianggap sebagai pendiri Hermeneutika Umum yang bisa
diaplikasikan pada semua bidang kajian. Ketika hermeneutika itu telah menjadi
subjek filsafat, lahirlah berbagai aliran pemikiran, yang menempatkan
hermeneutika Schleiermacher hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang
ada. Selain hermeneutika Schleiermacher, ada Hermeneutics of Betti yang digagas
oleh Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali;
juga ada Hermeneutics of Hirsch yang digagas oleh Eric D. Hirsch (1928- )
seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada juga Hermeneutics of Gadamer yang
digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang filsuf dan ahli bahasa,
serta aliran-aliran hermeneutika yang lain, seperti Hermeneutics of Dilthey,
yang digagas oleh Dilthey (m 1911), dan Hermeneutics of Heidegger, yang digagas
oleh Heidegger (m 1976), dan lain-lain. Dalam konteks yang lebih ekstrim,
filsafat hermeneutika telah memasuki wilayah epistemologis yang berakhir pada
pemahaman sophist (orang yang pandangannya tersesat), yang bertentangan dengan
pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berakhir dengan kesimpulan umum,
bahwa all understanding is interpretation, semua pemahaman itu hanyalah
penafsiran, dan karenanya tergantung kepada subyektivitas orangnya. Pada titik
inilah, A. Karim Sourosh, menurunkan teori al-qabdh wa al-basth (penyusutan dan
pemuaian) interpretasi agama, yang menurutnya masih menjadi bagian dari teori
interpretasi-epistemologis, atau hermeneutika ini. Dengan teori ini, dia
berkesimpulan, bahwa pemahaman agama, bukanlah agama itu sendiri. Pemahaman
agama itu subyektif, bisa mengalami perkembangan dan penyusutan, sementara agama
tidak.
Hermeneutika sebagai Interpretasi-Epistemologis
Untuk memperjelas lingkup kajian dan pengaruh hermeneutika, serta mengapa metode
ini digunakan untuk menginterpretasikan al-Qur’an, maka fakta hermeneutika
---meminjam istilah A. Karim Sourosh--- sebagai interpretasi-epistemologis harus
dipahami. Interpretasi-epistemologis adalah penafsiran terhadap teks yang
dibangun berdasarkan teori epistema. Epistema ---bahasa Yunani Kunonya,
epistémé, atau bahasa Inggerisnya, epistemic--- adalah teori pengetahuan
tentang: (a) asal-usul, (b) anggapan, (c) karakter, (d) rentang, dan (e)
kecermatan, kebenaran atau keabsahan pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat
yang mengkaji pengetahuan: darimana asal-usulnya? bagaimana perumusannya?
bagaimana pengetahuan tersebut diekspresikan dan dikomunikasikan? Metode inilah
yang digunakan A. Karim Sourosh dalam bukunya, Reason, Freedom and Democracy in
Islam (2000), sebagaimana sebelumnya juga digunakan oleh Arkoun dalam Rethinking
Islam, atau apa yang dibahasaarabkannya dengan: Kayfa na’qilu al-Islam
(bagaimana kita memahami Islam), dan dalam artikel: Bagaimana Membaca al-Qur’an?
Metode yang sama juga digunakan oleh komunitas Islam Liberal.
Dalam konteks al-Qur’an, metode hermeneutika, atau ---meminjam istilah Arkoun---
metode interpretasi-epistemologis baru, digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu
atau kalam Allah, dan al-Qur’an. Diakui, bahwa wahyu itu berasal dari Tuhan.
Hanya saja, menurut Arkoun, wahyu Tuhan itu tak terbatas. Untuk melengkapi data
historisnya, dia ---yang memang sarjana sastra Arab itu--- kemudian menggunakan
teori linguistik untuk membuktikan kesimpulannya. Dari sanalah, Arkoun ---yang
dipengaruhi pandangan Paul Ricoeur yang populer dengan bukunya, The Rule of
Metaphor (1977) itu--- kemudian memilah tahap-tahap: kalam Allah (KL), Wacana
Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Menurutnya,
wahyu atau kalam Allah, sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas, namun ketika
kalam itu disampaikan kepada Nabi ---untuk disampaikan kepada ummatnya--- itu
hanyalah penggalan dari kalam Allah yang tak terbatas. Dari sinilah muncul
pemilahan wahyu verbal (dilisankan) dan non-verbal. Dengan menggunakan teori
yang sama, Arkoun berkesimpulan, bahwa wacana al-Qur’an (WQ) telah direduksi
menjadi Corpus officiel clos (korpus resmi tertutup), yang menurutnya, karena
faktor sosial dan political will, bukan karena kehendak tuhan. Dan, setelah
menjadi Corpus officiel clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani, maka
umumnya pemahaman kaum Muslim dibentuk melalui Corpus officiel clos ini, bukan
dengan wacana Qur’an yang pertama (WQ). Dari sinilah lahir Korpus Tertafsir
(KT), yang berupa kitab-kitab tafsir.
Dengan epistema ini, keabsahan al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat.
Melalui pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa
al-Qur’an is subject to historicity (tunduk pada sejarah), dan karenanya harus
didekonstruksi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Sedangkan
Fazlur Rahman mengklaim, al-Qur'an adalah both the Word of God and the word of
Muhammad (kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad). Sementara, Nashr Abu Zayd
mengklaim bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Metode yang sama juga
digunakan Arkoun untuk menggugat otoritas dan keabsahan tafsir al-Qur’an:
"Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan... Yang saya katakan adalah
bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk menafsirkan
al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru seperti antropologi, tidak
mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah,
biologi—semuanya tidak mereka kuasai. Dengan epistema yang sama, yakni
berdasarkan karakter teksnya, al-Qur’an yang berbahasa Arab, dianggap mempunyai
persamaan dengan teks-teks sastra, atau kitab suci lainnya." Dari sinilah Arkoun
menurunkan metode tafsirnya: Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu
penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab”.
Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan
suatu metode yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal besar.
Lebih jauh, teori pembacaan Arkoun ini dijabarkan melalui tiga moment, yaitu
moment linguistik, antropologis, dan historis. Dengan moment linguistik, kata
(lafadz al-Qur’an) dibaca sebagai tanda (dilâl), sedangkan dengan moment
antropoligis, kata yang sama dibaca sebagai simbol (isyârah), atau analisis
mistis. Dengan moment historis, batas-batas tafsir logiko-leksikografis (logika
perkamusan), atau teks dan konteks, dikembangkan dengan apa yang disebutnya
dengan tafsir imajiner. Pendek kata, hermeneutika ---sebagaimana klaim mereka---
bisa memadukan subjektivitas dan objektivitas. Konon, karena itulah metode ini
mereka gunakan.
Kebobrokan Tafsir Hermeneutika
Untuk membuktikan kebobrokan tafsir hermenutika ---atau
interpretasi-epistemologis--- ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan
kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA
Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan
pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja.
Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu, yang telah tereduksi
menjadi Corpus officiel clos itu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap
wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber
dari wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak
bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak
lepas dari problem besar, hermeneutic circle.
Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam
tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik
menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di
dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika.
Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan. Dengan
ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang
bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzîl,
atau asbâb an-nuzûl ---dan juga asbâb al-wurûd--- bisa dianalisis. Begitu juga,
periodisasi tanzîl, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu
tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena
perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut
kemudian disistematikan oleh para ulama’ dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sejarah yang melatarbelakangi lahirnya
hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran pihak
gereja. Anggapan inilah yang telah melahirkan hermeneutika sebagai kaidah
interpretasi-epistemologis. Anggapan seperti sama sekali tidak terlintas dalam
kepala ummat Islam. Baru setelah abad ke-20, anggapan ini dikembangkan oleh kaum
terpelajar Muslim yang belajar di Barat, sehingga seakan-akan ummat Islam
menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka, seperti yang dihadapi ummat lain.
Muncul Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul Nashr Abû Zayd dan lain-lain, yang
mengusung teori hermeneutika ini sebagai metode tafsir al-Qur’an.
Dengan dalih obyektivitas, hermeneutika ---sebagai interpretasi-epistemologis---
telah menolak semua anggapan untuk membangun kesimpulannya. Tetapi, kenyataannya
anggapan itu tidak pernah bisa dielakkan. Inilah yang kemudian mereka sebut
dengan problem besar, hermeneutic circle (lingkaran setan tafsiran) itu. Ini
sekaligus menunjukkan kesalahan teori ini, sebagai metode berfikir. Dengan
dalih obyektivitas, semua anggapan dibuang, padahal obyek kajian yang dihadapi
bukanlah realitas empiris yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental layaknya
obyek kajian ilmiah. Kesalahan inilah yang menyebabkan kesalahan-kesalahan
berikutnya, termasuk ketika teori ini digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang
apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara
mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan ---tepatnya
realitas--- yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang
berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci
tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldûn (w. ) menyatakan, bahwa tafsir
al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulûm an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada
informasi dari pembuat syariat. Karena bidang tafsir adalah makna lafadz
al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyrî’ yang berbahasa
Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut,
bahasa dan syara’.
Dari sinilah, Ibn Khaldûn membagi tafsir menjadi dua: tafsîr
naqlî, atau yang kini populer dengan istilah tafsîr bi al-ma’tsûr, dan tafsîr
yarjî’ ilâ al-lisân, atau ---meminjam istilah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhâni---
tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada
riwayat, termasuk nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, dan maksud ayat. Sedangkan
jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab, i’râb, dan balâghah
sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis tafsir ini jelas
sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang
bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model tafsir inilah
yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif dan obyektif.
Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun berdasarkan
pembacaan simbolis dan mistis ---seperti yang digagas oleh kaum Sufi--- atau
tafsir imaginer ---seperti yang digagas Arkoun--- adalah tafsir yang dianggap
tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau
pengalaman esoteris pembacanya.
Dengan kata lain, obyektivitas tafsir al-Qur’an itu ditentukan oleh tunduk dan
tidaknya akal dalam melakukan pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua sumber
tersebut. Karena akal hanya berfungsi untuk memahami, maka dikatakan
obyektif, jika tafsiran akal tunduk pada kedua sumber ---syara’ dan bahasa---
tersebut. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti
al-Qur’an ---seperti yang dituduhkan Arkoun--- hanya menjadi alat justifikasi.
Justru inilah yang menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash
Abû Zayd dan kawan-kawannya. Di sinilah letak persoalan metode tafsir
hermeneutika yang mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang
seharusnya digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an semuanya dibuang, seperti
akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja
dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya:
al-Qur’an adalah produk budaya, al-Qur’an adalah kompilasi Kata Tuhan dan kata
Muhammad, al-Qur’an sudah tereduksi menjadi korpus resmi tertutup, dan karenanya
harus didekonstruksi. Akibatnya, apa saja yang berbau syara’ harus dibuang, demi
---apa yang mereka klaim sebagai--- obyektivitas.
Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan
Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafadh) Arab, seperti majâz
(kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika,
sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah
syar’iyyah, seperti lafadz al-jihâd, as-shalâh dan sebagainya. Padahal, realitas
tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh
sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika
tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan
sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras
untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat
ditolaknya, keberadaan haqîqah syar’iyyah dalam teori hermeneutika adalah,
karena teori ini lahir bukan dari teks syara’.
Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh
nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya,
sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdh[i] la bi
khushûs[i] as-sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori
ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali
‘Imrân [03]: 130, yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal,
ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah [02]: 278. Kasus yang sama juga
berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh.
Inilah produk tafsir hermeneutika.
Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad,
seperti dalam kasus as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Mâ’idah [05]: 38, yang
muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang
mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap
sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan
‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm
ar-ramâdah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini
bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai
tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.
Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada
kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan
anggapan. Dan, ini yang mereka akui sendiri, atau seperti yang mereka sebut
dengan hermeneutic circle. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika
merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode
berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka,
kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode
berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh
dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektivitas tafsir,
yang justru terjebak dengan subyektivitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi
lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini
tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab,
tetapi juga kitab tasyrî’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab
berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyrî’, bisa dipahami sebagai
upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin
ini.
Kesimpulan
Secara epistemologis, hermeneutika ---sebagai teori
interpretasi-epistemologis---bukan dari Islam, tetapi merupakan produk
tsaqâfah Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang
berbeda dengan Islam. Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami
kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang
nota bene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan,
sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir
hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun
berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an. Seperti anggapan, bahwa
al-Qur’an hanyalah produk budaya; al-Qur’an itu tunduk pada sejarah; al-Qur’an
itu kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Qur’an ---karena kehendak
sejarah, bukan karena perintah Tuhan--- telah direduksi menjadi Corpus officiel
clos. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh
pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga, ketika al-Qur’an hanya dianggap sebagai
kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî’, maka keterbatasan hermeneutika
itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika anggapan
terhadap al-Qur’an itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak mempunyai
tempat di sisi al-Qur’an yang mulia itu.
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk
melakukan sinkritisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh
semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam
dengan kekufuran.
Last Updated ( Wednesday, 18 August 2004 )
::BACK TO HOME::
|
|