|
Islam Liberal : Hawa Nafsu Berkedok Ilmu
"Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa hawa nafsu. Dan
menciptakan binatang dengan menyertakan hawa nafsu tanpa akal. Sedangkan Allah
menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan hawa nafsu sekaligus. Maka
barangsiapa yang ilmunya menguasai hawa nafsu maka dia lebih baik dari malaikat
dan barangsiapa hawa nafsunya mengalahkan ilmunya maka dia lebih buruk dari
binatang." Demikian Malik bin Dinar t mendudukkan manusia.
Jika malaikat senantiasa taat, itu karena mereka diciptakan tanpa disertai hawa
nafsu yang menentangnya, tetapi manusia yang dititahkan disertai hawa nafsu lalu
dia mampu menundukkan nafsu dengan ilmunya, maka dia manusia istimewa. Demikian
pula halnya, menjadi kewajaran jika binatang hanya makan dan menuruti
syahwatnya, karena memang mereka diciptakan tanpa diberi akal.
Tetapi manusia yang diberi akal lalu hanya memperturutkan hawa nafsunya maka
binatang lebih baik darinya. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (al-A’raf: 179)
Ilmu VS Hawa Nafsu
Allah menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan ilmunya,
namun setan berusaha menggiring manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya. Ilmu
dan hawa nafsu senantiasa berebut untuk meraih hegemoni, selalu bertarung untuk
dapat mendominasi jiwa manusia. Yang paling celaka adalah ketika hawa nafsu yang
bertahta dalam jiwa manusia, menjadi raja yang menjadi sesembahannya:
"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (al-Qashash: 50)
Pertarungan tersebut bukan saja terjadi pada masing-masing jiwa manusia, namun
juga membumi. Jika hawa nafsu banyak menguasai mayoritas manusia di bumi, maka
bisa jadi hawa nafsu yang memegang kendali dan merajai.
Ibnu Mas’ud pernah berkata di hadapan sahabat dan tabi’in: "Sesungguhnya kalian
hidup di suatu zaman di mana kebanaran yang menguasai hawa nafsu, namun kelak
akan ada suatu zaman di mana hawa nafsu yang merajai kebenaran."
Rupanya zaman itu sudah sampai. Lihat saja, setiap kali terjadi perang opini,
maka pemuja hawa nafsu lebih banyak pendukungnya, para pengumbar nafsu paling
banyak dijadikan idola.
Hawa Nafsu Dikemas dengan Ilmu
Proyek meng’hawa-nafsu’kan dunia ditempuh setan dengan banyak cara sekaligus
menunjuk arsitek dan para pekerjanya. Di antara cara tersebut adalah membungkus
hawa nafsu dengan kedok ilmu. Tugas ini diemban oleh ‘syaithan nathiq’ (setan
bicara) yang melegalkan hawa nafsu atas nama ilmu. Dengan kemasan ini, kampanye
setan untuk menggolkan hawa nafsu sebagai penguasa sukses dengan kemenangan
telak.
Kasus pornografi misalnya. Definisi dan batasan istilah ini diperdebatkan, namun
hanya satu tujuan setan, memenangkan opini bahwa ‘tidak ada yang layak dikatakan
porno’. Statemen yang paling efektif untuk ini adalah pernyataan bahwa ‘batasan
pornorafi itu relatif.’
Cermatilah, bagaimana setan mengajari murid-muridnya untuk berargumen. Ketika
seorang model yang suka tampil vulgar ditanya tentang sikap masyarakat yang
memandang tabu dan mem’porno’kan gayanya, dia menjawab: "Terserah mereka,
tinggal dari sisi mana mereka menilai. Kalau mereka ‘positif thinking’
(husnudzhon) ya mereka menganggapnya baik, tapi kalau sudah ‘negatif thinking’
(su’udzhon) duluan, ya...apa-apa dikatakan jelek." Inilah hawa nafsu yang
dikemas dengan ‘ilmu’. Mereka hanya ingin berkelit dari hukum manusia, tetapi
mereka tak mungkin bisa lari dari hukuman Allah.
Tidak jarang pula bahkan, orang-orang yang se-tipe dengannya menganggap
masyarakat yang anti pornografi sebagai kaum munafik, ‘toh sebenarnya mereka
juga demen’, katanya. Tetapi, munafik yang sebenarnya adalah mereka yang tidak
mau taat kepada norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan
menghalangi orang-orang darinya, firman Allah:
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang
Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu."
(an-Nisa’: 61)
Dilegalkan Para Cendekiawan
Wajar jika pernyataan-pernyataan sumbang seperti beberapa contoh di atas muncul
dari orang-orang yang notabene memang jauh dari bangku pondok pesantren, atau
jarang mencicipi pengetahuan agama. Yang aneh adalah orang-orang yang ditokohkan
dalam hal agama ikut-ikutan pula mempromosikan hawa nafsu berkedok ilmu.
Tentunya dengan gaya yang lebih Islami, bumbu-bumbu dalil, ramuan ushul fikih
plus argumentasi yang runtut.
Terutama mereka yang berada dalam jajaran Islam liberal.
Untuk menghalalkan segala hal, mengkampanyekan budaya serba boleh dan ‘anti
haram’, banyak ungkapan nyleneh yang dikuatkan dalil-dalil. Seperti pernyataan
‘Fikih islam tidak cukup untuk memahami seni’, atau ‘akal adalah rasul Allah di
muka bumi’ atau menggunakan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun yang
dituju hanya satu ‘tidak ada yang haram’, karena menurut mereka keharaman itupun
juga relatif, tinggal dari sisi mana orang melihat.
Al-Qur’an Sesuai di Setiap Waktu dan Tempat
"Kalimatul haq uriida biha al-bathil’, pernyataan yang benar namun dipakai untuk
maksud yang bathil. Ungkapan ini sepertinya pas ditujukan untuk orang-orang
Islam Liberal yang memiliki ‘track record’ menghalalkan yang sudah jelas haram
dengan dalih Al-Qur’an sanggup menjawab persoalan di setiap zaman, atau Islam
bisa sesuai dengan kondisi kapanpun.
Ungkapan ini benar, namun tuan-tuannya penganut JIL terbalik dalam terapannya.
Mereka merubah alat ukur sebagai yang diukur, sedangkan yang mestinya diukur
malah dijadikan alat ukur. Mereka justru memaksa Al-Qur’an untuk membolehkan
sesuatu yang haram karena sudah terlanjur mengakar dan mengkondisi di masyarakat.
Seakan mereka berkata ‘karena zaman sudah seperti ini, maka ini dan itu
diperbolehkan’. Dalilnya? Islam cocok untuk setiap kondisi dan zaman, katanya.
Padahal posisi yang tepat untuk ungkapan tersebut adalah bahwa dalam kondisi
apapun syari’at Islam secara komprehensip sesuai untuk diterapkan. Umat akan
baik selagi mereka mau mengambil petunjuk darinya dalam setiap perkataan dan
perbuatan. Inilah maksud hadits Nabi:
"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama, selagi
berpe-gang dengan keduanya, yakni kitabullah dan sunnah Nabi-Nya." (HR Malik)
Ilmu yang Sebenarnya
Gaya bicara dan retorika berargumen jubir pemuja hawa nafsu memang membuat kita
silau. Terkesan cerdas, logis dan ilmiah. Apalagi jika dalil Al-Qur’an
sesekali menjadai alat legitimasi dari pendapatnya, gelaran cendikiawan muslim
serta merta melekat di jidatnya. Fenomena ini telah digambarkan juga oleh Ibnu
Mas’ud sekaligus solusi untuk menghadapinya. Beliau katakan:
"Sesungguhnya kalian nanti akan
mendapatkan suatu kaum yang mengaku menyeru kalian kepada Kitabullah padahal
sesungguhnya mereka membuang Al-Qur’an di belakang punggung mereka, maka
hendaknya kalian berpegang kepada ilmu…dan hendaknya kalian mengikuti para salaf
(sahabat hingga tabi’ut tabi’in)."
Dengan ilmu, kita mengenali kecurangan orang yang hanya menjadikan Al-Qur’an
sebagai alat legitimasi untuk melegalkan hawa nafsu sebagaiman kita mengenali
kebenaran. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ‘ulumus syar’i al-muruts ‘anin
Nabi’, ilmu syar’i yang diwariskan oleh Nabi saw. Sedangkan yang paling paham
tentangnya adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian tabi’ut tabi’in
dan ulama-ulama berikutnya yang setia dengan jalan yang telah ditempuh oleh
mereka. Iniah jalan selamat dari tipu daya para ‘jurkam’ hawa nafsu, wallahul
musta’an (Abu Umar Abdillah/ Majalah Ar-risalah)
::BACK TO HOME::
|
|