Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal
Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada?
Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul
fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek
mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja
dengan memasak pepesan kosong.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang
menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi,
Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang
dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari
dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd
al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh
al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii,
ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat
global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang
yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm,
jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut
Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl
al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah
al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan
seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan
hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan
macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau
pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq
(makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan
tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak
bertentangan (ta’ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada
ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih
sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said,
menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari
Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain,
dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said,
Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal
sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil
syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri
perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya
agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah
menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya,
selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas,
Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35).
Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan
Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan
al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman
Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53)
menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak
mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian
Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”,
www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan
tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan
gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan
pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih
Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an,
Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember
1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah
Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam
ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru.
Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih
Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm,
ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith
Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi
patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash
dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks
dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi
24/12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah
membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya
tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai
peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa
menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul
fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum
liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias
ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan
sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah.
Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah
nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan
sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai
hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith
Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh
bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik),
tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi
teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik
(baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang
ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat
Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat
mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The
Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan
sekularismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya
‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari
peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut
dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali,
Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said,
1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali
jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti
sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi
Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus
ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William
Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah
yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti
Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb,
Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan
Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka,
kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta
lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa
paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat
jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan
diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular.
Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan
jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah.
Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal
sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada
umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus
mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti
reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim
Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim
bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah
hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah
melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya
mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan
wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu
(pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan
sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan
ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender,
pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih
kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular,
mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada
dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar
biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun.
Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk
ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran
kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama
salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara
hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar
nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum
liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual
pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul
Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan
Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman.
Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul
Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts
Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal.
Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm
al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul
Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.”
www.islamlib.com
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.”
www.insistnet.com
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan
Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman.
Bekasi: Wacanalazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas
(Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.