Perbedaan dan
perselisihan adalah perkara yang tercela dalam Islam. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Yang demikian itu adalah
karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran, dan
sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab
itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.” (Al-Baqarah: 176)
“Manusia itu umat yang satu,
(setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan
bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)
“Dan Kami berikan kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama). Maka
tidaklah mereka berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka
pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya
Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang
mereka selalu berselisih padanya.” (Al-Jatsiyah: 17)
Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk disebutkan.
Meski demikian, perbedaan dan perselisihan adalah
tabiat manusia, di samping keduanya adalah perkara yang telah
ditaqdirkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”
(Hud: 118-119)
Hanya saja kaum muslimin dibebani secara syar’i
untuk meluruskan dan menghilangkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Dan Kami tidak menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman.” (An-Nahl: 64)
Menghadapi kenyataan demikian ini, manusia
berbeda-beda di dalam menyikapinya. Ada yang tidak menaruh respek
sedikit pun, serta ada yang tidak peduli sama sekali dengan anggapan
bahwa “perbedaan dan perselisihan itu adalah rahmat.” Anggapan ini
jelas salah, karena di antara perbedaan dan perselisihan itu ada yang
menyebabkan pelakunya tercela dan mendapat murka Allah Subhanahu wa
Ta'ala, seperti perbedaan dan perselisihan dalam hal aqidah, manhaj,
bahkan agama – wal ‘iyadzubillah - dan pokok-pokok Islam lainnya.
Ada pula yang berusaha untuk
menyembunyikan perbedaan dan perselisihan internal di tengah-tengah kaum
muslimin, dengan dalih “itu hanya akan memperkuat posisi musuh”.
Tak heran bila kemudian didapati orang-orangnya sangat gemar menyerukan
agar saling menghormati, saling memberikan toleransi, mendiamkan
penyimpangan-penyimpangan, demi mencapai sebuah persatuan dan kesatuan,
sampai-sampai muncul pernyataan bahwa “madzhab-madzhab itu adalah
partai dalam fiqih, sedang partai-partai itu adalah madzhab dalam
politik.”
Propaganda semacam ini sangat berbahaya, sebab
menyembunyikan perbedaan dan perselisihan dengan menampakkan wajah
persatuan dan kesatuan adalah cara-cara yang ditempuh kaum al-maghdhubi
‘alaihim wadh dhalliin, di mana Allah telah mensifati mereka dalam
firman-Nya:
“Kamu kira mereka itu bersatu
sedang hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14)
Propaganda ini jelas-jelas ajakan untuk menempuh
jalan mereka, yang padahal Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar
menyelisihinya, tidak menyerupainya, dan tidak mengikuti jejak-jejaknya.
Para pembaca, tidak diragukan lagi bahwa persatuan
adalah hal yang terpuji, bahkan banyak ayat
yang memerintahkan bersatu dan melarang berselisih. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(Ali ‘Imran: 103)
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
“Sesungguhnya orang-orang
yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
(Al-An’am: 159)
“Dia telah mensyariatkan bagi
kamu tentang agama dan apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Perlu untuk diperhatikan, tidaklah Allah
memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dengan perintah yang mutlak.
Bukanlah maksud bersatu itu memperbanyak jumlah muslimin, namun
maksudnya adalah berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh.
Jumlah yang banyak tidaklah bermanfaat bila tidak
berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh, bahkan keberadaannya hanya
akan memudharatkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman,
walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Perbedaan dan perselisihan memang hal yang tidak
bisa kita hindari. Namun bukan berarti
kemudian kita meninggalkan sikap saling menasehati, memerintah kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Karena, kaum
muslimin dibebani secara syariat untuk mengusahakan segala hal yang
menjadi ketetapan atasnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya (agama tauhid)
ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mu’minun: 52)
“Sesungguhnya (agama tauhid)
ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya: 92)
Bahkan perbedaan dan
perselisihan yang timbul akibat dari menegakkan nasehat, menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, membela Al-Kitab dan As-Sunnah, penyelisihan
terhadap ahlil bid’ah serta orang-orang yang sesat dan menyesatkan,
merupakan perbedaan dan perselisihan yang terpuji, tidak tercela
sedikitpun karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memisahkan
diri dari mereka itu.
Sebaliknya, adalah kedzaliman
yang besar serta pelanggaran yang fatal terhadap agama, bila menyerukan
persatuan dalam keadaan berbeda-beda manhaj dan aqidah di mana setiap
orang dituntut saling menghormati, mentolerir, dan membiarkan
kebid’ahan serta penyimpangan-penyimpangan dengan cara menutup mata
dan berpura-pura tidak tahu. Wallahul musta’an.
Inilah sebenarnya yang akan melenyapkan agama dan
menghapus kemuliaannya serta kedudukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Orang-orang kafir Bani
Israil telah dilaknati dengan lisan Dawud dan ‘Isa putera Maryam. Yang
demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
(Al-Maidah: 78-79)
Maka perbedaan dan perselisihan adalah dua hal yang
tercela dalam agama secara umum namun tidak secara mutlak. Dengan
demikian sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui batasan-batasan
perbedaan dan perselisihan yang boleh dan yang tidak, serta
batasan-batasan toleransi di dalamnya.