Sekelompok
Muslim menggugat fatwa MUI tentang “haramnya seorang Muslim hadir dalam
Perayaan Natal Bersama. Sikap “kebelet” agar bisa disebut toleran?. Baca CAP Adian Husaini, MA ke-83
Menjelang perayaan Hari Natal, 25
Desember, ada sebagian kalangan kaum Muslim yang kembali menggugat fatwa MUI
tentang “haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama.” Ada
yang menyatakan, bahwa yang melarang Perayaan Natal Bersama (PNB) atau yang
tidak mau menghadiri PNB adalah tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari
pluralisme, tidak mau berta’aruf,
dan sebagainya. Padahal orang Islam disuruh melakukan ta’aruf (QS 49:13). Banyak yang
kemudian berdebat “boleh dan tidaknya” menghadiri PNB, tanpa menyadari, bahwa
sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB
itu sendiri.
Pertama, mitos bahwa PNB
adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah begitu berurat-berakar, bahwa PNB
adalah enak dan perlu. Padahal, bisa dipertanyakan, apa memang perlu diadakan
PNB? Untuk apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan
dijadikan acara resmi kenegaraan, maka perlukah juga diadakan WB (Waisak
Bersama), NB (Nyepi Bersama), IFB (Iedul Fitri Bersama), IAB (Idul Adha
Bersama), MNB (Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra’ Mi’raj Bersama), IB (Imlek
Bersama). Jika semua itu dilakukan, mungkin demi alasan efisiensi dan
pluralisme beragama, akan ada yang usul, sebaiknya semua umat beragama
merayakan HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya semua agama
menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus, peringatan
Nabi Muhammad SAW, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan sebagainya.
Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos. Jika kaum Kristen merayakan
Natal, mengapa mesti melibatkan kaum agama lain? Ketika itu mereka
memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa mesti memaksakan umat agama
lain untuk mendengarkan cerita tentang Yesus dalam versi Kristen? Mengapa
doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat umat manusia itu tidak diyakini
diantara pemeluk Kristen sendiri?
Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana tentang
perlunya PNB adalah sebuah keanehan. Kita tidak pernah mendengar bahwa kaum
Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya, mendiskusikan tentang
perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fitri Bersama), agar mereka disebut toleran.
Bahkan, mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur
nasional. Padahal, di Inggris, Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26
Desember sebagai “Boxing Day”
dan hari libur nasional. Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua
hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan Perancis, Hari Natal
juga libur dua hari. Hari libur nasional di AS meliputi, New Year’s Day (1
Januari), Martin Luther King Jr Birthday (17 Januari), Washingotn’s Birthday
(21 Februari), Memorial Day (30 Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4
Juli), Labour Day (5 September), Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11
November), Thanksgiving’s Day (24 November), Christmas Day (25 Desember).
Kedua, mitos bahwa PNB
membina kerukunan umat beragama. Mitos ini begitu kuat dikampanyekan, bahwa
salah satu cara membina kerukunan antar umat beragama adalah dengan PNB.
Dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang menegaskan keyakinan umat
Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru
selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat
manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes,
14:16). Satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157;
19:89-91, dsb).
Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak,
adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam
al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh
dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim
bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu
bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi menyuburkan
kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya
diadakan perayaan Natal dan Idul Fitri bersama, karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh
khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah.
Sebagaimana tadi orang-orang Kristen
disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka
diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan
penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad
saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan
al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu
ialah saru ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan
hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada
hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak
hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh
telinga mereka.
Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak,
tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw
adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan
mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau
diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam,
ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan
dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.” Demikian
kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
Ketiga, mitos bahwa dalam
PNB orang Muslim hanya menghadiri acara non-ritual dan bukan acara ritual.
Untuk menjernihkan mitos ini, maka yang perlu dikaji adalah sejarah
peringatan Natal itu sendiri, dan bagaimana bisa dipisahkan antara yang
ritual dan yang non-ritual. Sebab, tradisi ini tidak muncul di zaman Yesus
dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus. Maka, bagaimana bisa ditentukan,
mana yang ritual dan mana yang tidak ritual? Yang jelas-jelas tidak ritual
adalah menghadirkan tokoh Santa Claus, karena ini adalah tokoh fiktif yang
kehadirannya dalam peringatan Natal banyak dikritik oleh kalangan Kristen.
Sebuah situs Kristen (www.sabda.org), menulis satu artikel berjudul: “Merayakan Natal dengan Sinterklas:
Boleh atau Tidak?”
“Dikatakan, dalam artikelnya yang berjudul The
Origin of Santa Claus and the Christian Response to Him
(Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen Terhadapnya), Pastor
Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil
polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta dimanfaatkan
pula oleh para pelaku bisnis.
Sinterklas yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan
seorang pastor dari Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar
(tidak ditunjang oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa
Nicholas dikenal sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan
menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan
sebagai "orang suci" oleh gereja Katolik, dengan nama Santo
Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai
dengan ajaran iman Kristen… Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu kita harus
menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah menjadikan
Kristus sebagai berita utama dalam merayakan Natal -- Natal adalah Yesus.”
Mitos tentang Santa Claus ini begitu hebat pengaruhnya, sampai-sampai banyak
kalangan Muslim yang bangga berpakaian ala Santa Claus.
Keempat, mitos bahwa tidak
ada unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan
toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu
dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk
menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan
Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia
akan selamat.
Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja
Kristen. Konsili Vatikan II (1962-1965), yang sering dikatakan membawa angin
segar dalam hubungan antar umat beragama, juga mengeluarkan satu dokumen
khusus tentang misi Kristen (The Decree
on the Missionary Activity) yang disebut “ad gentes” (kepada bangsa-bangsa).
Dalam dokumen nostra aetate,
memang dikatakan, bahwa mereka menghargai kaum Muslim, yang menyembah satu
Tuhan dan mengajak kaum Muslim untuk melupakan masa lalu serta melakukan
kerjasama untuk memperjuangkan keadilan sosial, nilai-nilai moral,
perdamaian, dan kebebasan. (“Upon the
Moslems, too, the Church looks with esteem. They adore one God, living and
enduring, merciful and all-powerful, Maker of heaven and earth …Although in
the cause of the centuries many quarrels and hostilities have arisen between
Christians and Moslems, this most sacred Synod urges alls to forget the past
and to strive sincerely for mutual understanding On behalf of all mankind,
let them make common cause of safeguarding and fostering social justice,
moral values, peace, and freedom.”).
Tetapi, dalam ad gentes
juga ditegaskan, misi Kristen harus tetap dijalankan dan semua manusia harus
dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi
“sakramen universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk
memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to
proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan, semuya manusia
harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi
Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made
known by the Church's preaching, and all must be incorporated into Him by
baptism and into the Church which is His body).
Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan agamanya,
dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Namun,
alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa
acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi Kristen.
Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim menghormati
fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk menghadiri PNB.
MUI tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal. Fatwa itu adalah untuk
internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan pemeluk Kristen. Fatwa
itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk
Kristen dalam merayakan Hari Natal.
Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara
lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya
haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah
SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Kalangan Kristen ketika itu, melalui DGI dan MAWI, banyak mengkritik fatwa
tersebut. Mereka menilai fatwa itu berlebihan dan tidak sejalan dengan
semangat kerukunan umat beragama. Kalangan Kristen dari luar negeri juga
banyak yang berkomentar senada. Padahal, sebenarnya aneh, jika kalangan
Kristen yang meributkan fatwa ini. Lebih ajaib lagi, jika ada yang mengaku
Muslim meributkan fatwa ini, karena mungkin “kebelet” merayakan Hari Natal
dan ingin disebut toleran.
Kalau terpaksa harus merayakan Natal, tidaklah bijak jika harus menggugat
soal hukumnya. Apalagi, kemudian, melegitimasi dengan satu atau dua ayat
al-Quran yang ditafsirkan sekehendak hatinya. Untuk memahami masalah salat,
tidaklah cukup hanya mengutip ayat al-Quran dalam surat al-Ma’un: “Celakalah orang-orang yang salat.”
Masalah peringatan Hari Besar Agama, sudah diberi contoh dan penjelasan yang
jelas oleh Rasulullah SAW, dan dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang
mulia. Sebaiknya hal ini dikaji secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan
Islam. Untuk berijtihad, memutuskan mana yang halal dan mana yang haram,
memerlukan kehati-hatian, dan menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab
di hadapan Allah, sangatlah berat. Tidaklah cukup membaca satu ayat, lalu
dikatakan, bahwa masalah ini halal atau haram.
Lain halnya, jika seseorang yang memposisikan sebagai mujtahid, tidak peduli
dengan semua itu. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa
dibaca Kitab “Iqtidha’ as-Shirat
al-Mustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim”, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah).
Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas. Islam hadir dengan
mengakui hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain, disaat kaum Kristen
Eropa menyerukan membunuh kaum “heresy” karena berbeda agama. Karen Armstrong
memuji tindakan Umar bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan kebebasan
beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem, Beliau adalah penguasa pertama
yang menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia. Namun,
Umar r.a. tidak mengajurkan kaum Muslim untuk berbondong-bondong merayakan
Natal Bersama.
Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal
yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biar masing-masing pemeluk
agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi munafik. Masih
banyak cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan
bekerjasama antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman
global yang menindas umat manusia. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan
mitos tentang seorang tokoh fiktif bernama Santa Claus untuk menjadi juru
selamat manusia, khususnya anak-anak. Wallahu
a’lam. (KL, 24 Desember 2004).
|