Kalangan JIL mengatakan al-Qur’an
merupakan refleksi budaya primitif. Karena itu harus ditafsir ulang. Imam
al-Ghazali mengatakan, penafsir al-Qur'an yang hanya menggunakan akal, tempatnya neraka
Dr. Syamsuddin Arif, M.A *)
Akhir-akhir ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias
reinterpretasi al-Qur’an dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan
antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan refleksi dari dan
reaksi terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab
Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Karena itu,
ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan ‘menindas’ wanita, seperti membolehkan
poligami, menekankan superioritas suami, mengatur pembagian warisan, ataupun
yang terkesan tidak manusiawi (barbarian), seperti ayat-ayat
jihad/qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal potong tangan,
qishash dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar
sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai
demokrasi, perlu direinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi peradaban
manusia modern yang sedang dan terus berubah.
Lebih jauh dari itu, sebagaimana diserukan oleh seorang aktivis JIL belum
lama ini, Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa penafsiran
al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang
paling benar dan mutlak. Setiap orang dan golongan dihimbau agar menghargai
hak orang dan golongan lain untuk menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam
“berdasarkan sudut pandangnya sendiri”. Tulisan ini bermaksud mengkritisi
gagasan perlunya reinterpretasi al-Qur’an dan liberalisasi tafsir tersebut
secara metodologis dan epistemologis.
Kritik Metodologis
Para penyeru gagasan reinterpretasi al-Qur’an umumnya tidak menyadari bahwa
apa yang mereka kerjakan sebenarnya sangat rawan secara metodologis.
Menafsirkan al-Qur’an bukanlah perkara ringan dan sepele. Tidak sembarang
orang bisa dan bebas melakukannya. Nabi Muhammad SAW, yang kepadanya kitab
suci itu diwahyukan, pernah bersabda: “Siapa saja yang mengatakan sesuatu
mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu (bi-ghayri ‘ilm) atau dengan
opininya sendiri (bi-ra’yihi), maka ia telah memesan tempat duduknya di
neraka” (HR Imam Tirmidzi). Itulah sebabnya mengapa tokoh sekaliber Abu Bakr
as-Siddiq ra tidak mau banyak komentar ketika ditanya mengenai tafsir suatu
ayat. Jangankan melakukan re-interpretasi, membuat interpretasi saja beliau
tidak berani (Lihat: H. Birkeland, Old Muslim Opposition against the
Interpretation of the Koran, Oslo: Norske Videnskaps Akademi, 1955).
Apakah ini berarti kita tidak boleh menafsirkan atau menafsirkan kembali
al-Qur’an? Jawabannya tentu saja negatif. Interpretasi dan reinterpretasi
dibolehkan asalkan dengan ilmu dan tidak berdasarkan opini semata-mata.
Buktinya khazanah intelektual Islam sangat kaya dengan pelbagai kitab tafsir
hasil ijtihad para ulama dari abad ke abad. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW
pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dianugrahkan ilmu untuk memahami al-Qur’an.
Memang terbukti akhirnya saudara sepupu beliau ini dikenal paling banyak tahu
dan ahli dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam hadis lain dikatakan bahwa
al-Qur’an itu dzu wujuuh, mengandung banyak aspek, makna, intensi,
pendekatan dan sudut pandang, sehingga bisa dipahami dan ditafsirkan
macam-macam. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setiap lafaz dari
al-Qur’an itu beraspek ganda: zahir dan batin, tersurat dan tersirat, literal
dan non-literal. Semua keterangan ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya
al-Qur’an boleh saja ditafsirkan.
Jika menafsirkan al-Qur’an tidak dilarang, pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: Apa batasan prasyarat “harus dengan ilmu dan tidak dengan opini”
dalam hadis tersebut di atas? Kapan seseorang dianggap layak untuk
menafsirkan al-Qur’an? Dan kapan suatu interpretasi dikatakan atas dasar
opini? Mengenai kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir, literatur ulumul Qur’an dan usul fiqih sudah cukup menjelaskannya.
Untuk layak menafsirkan al-Qur’an, anda harus menguasai bahasa Arab dan
literatur hadis secara mendalam dan komprehensif, tidak setengah-setengah
atau sepotong-sepotong. Jika prasyarat ini sudah terpenuhi, anda disarankan mengikuti
prosedur yang berlaku: menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan atau
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah/hadis Rasulullah SAW, dan atau
menafsirkannya dengan keterangan para mufassirin dari kalangan Sahabat,
Tabi‘in, dan para ulama salaf. Demikian ditegaskan oleh Imam as-Suyuti dalam
kitabnya, at Tahbir fi ‘Ilmi t-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),
hlm. 128-9.
Lalu kapan suatu interpretasi dikatakan berdasarkan opini pribadi? Menurut
Imam al-Ghazali, jenis penafsiran yang dilarang dan dikecam ada tiga.
Pertama, jika anda menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan linguistik dsb
semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadis dan riwayat sahih.
Kedua,
jika anda sengaja melompati dan menafikan tafsir literal seraya membuat
tafsiran allegoris, seperti golongan Batiniyah yang mengatakan bahwa
kata-kata ‘api’ (naar) dalam QS 21:69 itu maksudnya kemarahan Raja
Namrud, bukan “si jago merah”. Ketiga,
apabila sebelum menafsirkan al-Qur’an
anda sudah terlebih dulu mempunyai gagasan, teori, pemikiran, ideologi,
keyakinan atau tujuan tertentu, lantas al-Qur’an anda tafsirkan sesuai dengan
dan menurut apa yang ada di kepala anda itu. Ini sama dengan meletakkan
gerbong di depan lokomotif (putting the chariot before the horse).
Cara-cara menafsirkan al-Qur’an semacam ini masuk dalam kategori tafsir
dengan opini yang pelakunya diancam api neraka, terlepas dari maksud dan niat
baiknya, disadari ataupun tidak, sengaja maupun tanpa sengaja (Lihat: Ihya’
‘Ulumiddin, Kairo, 1967, I:378-83).
Dalam konteks ini para penyeru reinterpretasi perlu mencermati lagi dua buah
hadis terkait sebagai berikut: “Siapa saja yang menyatakan sesuatu tentang
al-Qur’an berdasarkan opininya sendiri, kalaupun pendapatnya itu betul, maka
sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan (fa ashaaba faqad akhtha’a)”
(HR Imam Abu Dawud, no.3652), dan kedua: “Seorang hakim yang telah melakukan
ijtihad, jika kesimpulan ijtihadnya betul, maka untuknya dua pahala. Namun
jika kesimpulannya salah, maka baginya satu pahala” (HR Imam Bukhari dan
Muslim). Keterangan Nabi SAW ini sangat logis. Yang dinilai disini bukan
hanya hasilnya, tetapi juga cara kerjanya. Jika keduanya betul, diberikan
poin 2. Jika metodenya betul, walaupun hasilnya keliru, diberikan poin 1
(dapat pahala dan tidak berdosa). Jika prosedur penafsirannya sudah salah,
meskipun kesimpulannya betul (secara kebetulan!), maka poinnya 0 (pahalanya
hangus untuk menebus kesalahannya). Apalagi jika keduanya salah, maka poinnya
-2 (dosanya dua kali lipat).
Kritik Epistemologis
Persoalan mendasar yang juga luput dari wacana liberalisasi tafsir adalah
seputar status dan validitas suatu penafsiran. Ungkapan seorang pemikir
liberal, misalnya, bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama
atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak, adalah
pendapat
yang sangat rapuh secara epistemologis. Demikian juga seruan agar setiap
orang dan golongan berani menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan
sudut pandangnya sendiri” serta mau menghargai hak orang dan golongan lain untuk
membuat interpretasi sendiri. Jika dicermati secara seksama,
ungkapan-ungkapan semacam ini hanya menunjukkan kerancuan berpikir yang tak
disadari (paralogism) dan kekeliruan yang disengaja untuk mengecoh dan
menyesatkan orang lain (sophism). Semuanya lahir dari sikap skeptis
dan bermuara pada relativisme epistemologis.
Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim itu
bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa
seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya.
Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya
mereka dengan kalimat: “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang
benar” (wa Allahu a‘lam bi-s shawaab). Kalimat ini sering disalahpahami.
Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis,
bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama
salaf sangat tekun, teliti dan teguh berpendirian dan berargumentasi,
sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih. Kalimat
tersebut mereka ucapkan semata-mata karena ‘adab kepada Tuhan’ yang ilmuNya
meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan
adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau
mempertahankan kebalikannya.
Apakah mungkin semua penafsiran harus diterima? Jawabnya tergantung, apakah
penafsiran tersebut dikemukakan oleh seorang ahli yang telah diakui
kepakarannya, atau oleh seorang mufassir amatir yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Saya lebih bisa menerima tafsir Imam al-Qurthubi
ketimbang interpretasi seorang Mernissi atau Shahrour. Seruan tokoh liberal
agar Umat Islam merelatifisir setiap penafsiran, menurut saya, adalah na’if
dan tidak realistis. Na’if karena seruan tersebut akan berbalik seperti
bumerang, merelatifisir dan menggugurkan pendapatnya sendiri (self-defeating).
Tidak realistis karena pada kenyataannya memang tidak semua penafsiran bisa
diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu
oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi
suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.
Gagasan liberalisasi tafsir juga tidak realistis dan perlu dicurigai. Orang
yang menyeru agar setiap orang dan golongan dibebaskan untuk membuat
penafsiran sendiri sebenarnya tidak menyadari bahwa tidak semua orang layak
dan berhak melakukannya, termasuk dirinya sendiri. Bahkan perlu dicurigai
jangan-jangan seruan itu sejatinya justru tuntutan agar dirinya yang masih
belum atau tidak layak itu pun diberikan hak untuk melakukan penafsiran. Bisa
dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot. Kata
peribahasa Jawa, Aja rumangsa bisa, ning bisa rumangsa, (jangan sot
tahu, tapi tahu dirilah, red).
Penulis adalah Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
|