Gender Equality versi Aminah Wadud
Satu lagi kejutan konyol dari kalangan Islam Liberal. Kali
ini dilakukan Aminah Wadud, . Hari Jumat, 18 Maret 2005 lalu, dia
menobatkan diri sebagai imam shalat Jum’at yang dilakukan di Gereja Katedral
St. John Manhattan, New York. Diikuti
sekitar seratus makmum laki-laki dan perempuan yang berjajar sejajar dan campur
baur. Adzan pun dikumandangkan dengan merdu oleh
seorang wanita tak berjilbab.
Kontan, tindakan wts (baca: waton suloyo=asal beda)
itu mendapat kecaman keras dari para ulama dan umat Islam sedunia. Bahkan sebuah media di Mesir menyebut Wadud sebagai ‘wanita sakit
jiwa.’ Pun begitu, tidak sedikit yang merespon baik. Bahkan,
begitu melihat berita tersebut, seorang dosen salah satu perguruan tinggi Islam
di Indonesia meminta istrinya untuk mengimaminya shalat wajib di rumah.
Kenylenehan itu bukan yang pertama dalam komunitas mereka,
dan statemen berikutnya yang lebih konyol tinggal menunggu waktu. Motto
yang jadi pedoman mereka, ‘bul zam-zam fatu’raf’, kencingilah zam-zam, niscaya
kamu akan terkenal.
Memperjuangkan ‘Gender Equality’
Tak perlu kita bahas tinjauan fikihnya karena telah jelas dalilnya.
Tak
seorang pun ulama sependapat dengan tata cara baru
itu. Masalahnya, Aminah Wadud yang dosen pengkajian Islam itu lebih yakin akan kebenaran teori gender equality (kesetaraan gender)
sekuler dari pada aturan dari Allah Yang Maha Tahu lagi Maha Bijak.
Konsep itu menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam segala bidang. Termasuk urusan ibadah yang tata
caranya sudah ‘paket’ dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau
laki-laki boleh jadi presiden, mengapa wanita tidak? Kalau
laki-laki bisa menjadi imam bagi kaum wanita, mengapa tidak sebaliknya? Begitu seterusnya.
Bisa jadi sebagai konsekuensi penalaran itu akhirnya Wadud
bersuamikan empat, sebab jika laki-laki boleh beristri empat, mengapa wanita
tidak?
Teori ini merupakan skenario yang dirancang untuk menghapus
syariat Islam secara total. Karena –dengan kemahaadilan dan
keemahabijakan Allah- Islam telah menggariskan aturan main yang khusus bagi
kaum laki-laki atau perempuan, di samping ada pula di antaranya yang sama persis.
Hasadan ‘Inda Anfusihim
Di samping persoalan wawasan dan pola pikir, tindakan Wadud dan kroni-kroninya
juga dipengaruhi oleh faktor kejiwaan. Mereka semacam
memiliki dendam dan hasad kepada kaum laki-laki, atau bahkan kepada aturan
Islam yang dianggapnya telah berlaku diskriminatif terhadap kaum Hawa.
Dan memang, faktor utama orang-orang kafir menolak Islam adalah hasadan ‘inda
anfusihim’, kedengkian di hati mereka, meskipun mereka tahu bahwa Islamlah yang
terbaik. Allah berfirman:
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. al-Baqarah: 109)
Kedengkian mereka sangat tampak dari masih sepihaknya aspek
yang diperjuangkan. Yakni dalam perkara yang menurut
mereka menguntungkan kaum hawa. Jika mereka konsekuen
menyuarakan kesetaraan gender, mengapa mereka tidak menuntut agar wanita yang
haidh tetap diperbolehkan puasa dan shalat? Mengapa
mereka tidak menuntut pencabutan hak cuti bagi wanita hamil? Atau sekali-kali mereka mengkampanyekan kaum istri jadi kondektur,
tukang becak atau mencangkul di sawah, biarlah suami yang menimang bayinya di
rumah.
Hanya Berorientasi Dunia
Konsep ‘Gender Equality’ hanya melihat dimensi duniawi, nihil dari dimensi
ilahiyah dan ukhrawiyah. Posisi dan lapangan duniawi
seperti jabatan presiden, direktur, pegawai menjadi tolok ukur tinggi rendahnya
martabat wanita. Sedangkan Islam mendudukkan orang
yang paling bertakwa sebagai pemilik martabat tertinggi, baik laki-laki maupun
wanita, meskipun dia seorang wanita yang miskin dan buruk rupa. Maka anugerah jannah diberikan Allah bukan berdasarkan status
sosialnya di dunia, tetapi karena iman dan amal shalihnya. Allah
berfirman,
“Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan
sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk jannah.” (QS.
al-Mukmin: 40)
Ini juga tidak mengandung pengertian bahwa Islam memuliakan
wanita di akhirat namun menindasnya di dunia. Allah
Yang Mahaadil memberikan porsi tugas dan kewenangan bagi wanita sesuai dengan
perangkat dan fitrah yang sesuai dengan tugas tersebut. Akal sehat bisa meraba adanya perbedaan yang ketara antara
laki-laki dan wanita, baik secara fisiologis maupun psikologis. Wajar jika perbedaan itu membawa konsekuensi perbedaan tugas dan
wewenang antara keduanya.
Wadud Versus Asma’
Sebagai penutup, penulis suguhkan sebuah kisah yang bisa membuka mata hati dan
akal kita, betapa jauh perbedaan generasi shahabiyat dengan Wadud cs dalam
menuntut persamaan hak laki-laki dan wanita.
Suatu ketika Asma’ binti Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah dan berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada di
belakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan
pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Anda kepada
laki-laki dan juga wanita. Kami pun beriman dan
mengikuti Anda. Sedangkan kami para wanita terbatas
gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan
syahwat bagi suami-suami kami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka.
Namun Allah memberikan keutamaan kepada kaum laki-laki dengan
shalat jamaah, mengantar jenazah, dan berjihad. Jika
mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara
anak-anaknya, maka apakah kami medapatkah pahala sebagaimana yang mereka
dapatkan?”
Mendengar tuntutan Asma’ tersebut, Nabi menoleh kepada para
sahabat seraya bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita
tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyan ini?” Kemudian beliau bersabda, “Pergilah wahai Asma’ dan beritahukan
kepada para wanita di belakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan
upaya kalian mendapat ridha darinya serta ketaatan kalian kepadanya, berpahala
sama dengan apa yang engkau sebutkan tadi.” Wallahu a’lam (Ustadz Abu Umar
Abdillah)