Babak baru
perkembangan liberalisme pemikiran adalah penghujatan Al-Qur'an. Seorang
dosen IAIN bahkan menulis "Edisi Kritis al-Quran." Baca CAP ke-97
Adian Husaini
Umat Islam Indonesia sekarang memasuki babak
baru yang sangat menentukan masa depannya. Arus sekularisasi dan liberalisasi
yang kini diusung dan digelindingkan sendiri oleh sejumlah tokoh, kampus, dan
organisasi Islam, telah menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi
di dunia Kristen. Gagasan liberalisasi yang ratusan tahun lalu digelindingkan
di dunia Yahudi dan Kristen kini dipaksakan kepada Islam. Maka, apa yang
selama ini tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam, sekarang sudah mulai
harus dipikirkan.
Salah satu isu penting yang digelindingkan kaum
liberal adalah masalah isu otentisitas al-Quran. Kaum Liberal – yang menganut
paham pluralisme agama – tampaknya tidak rela, kalau kaum Muslim masih saja
mengklaim, hanya agamanya saja yang benar, dan hanya Kitab Sucinya (al-Quran)
saja yang benar. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus
didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang
mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga
dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang
mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan
lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras
untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah,
bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari
kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang
otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain.
Kata seorang yang aktif menjadi penyebar paham
liberal di Indonesia: "Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles,
semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Jadi, orang tersebut tidak mau mengakui bahwa
al-Quran adalah satu-satunya Mukjizat yang masih tersisa di zaman akhir ini,
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Padahal, begitu banyak ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang otentisitas al-Quran dan tindakan kaum Yahudi dan Kristen
yang telah mengubah kitab sucinya sendiri, sehingga menurut al-Quran, kitab
suci mereka itu sekarang menjadi tidak suci lagi. Misalnya, Allah SWT
berfirman: "Sebagian dari orang-orang Yahudi mengubah kalimat-kalimat
dari tempatnya." (An Nisa: 46)
Juga firman-Nya: "Maka apakah kamu ingin
sekali supaya mereka beriman karena seruanmu, padahal sebagian mereka ada
yang mendengar firman Allah, lalu mengubahnya sesudah mereka memahaminya,
sedangkan mereka mengetahuinya." (al-Baqarah:75)
Dan firman-Nya: "Sungguh celakalah
orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka, lalu mereka katakan:
"Ini adalah dari Allah." (mereka lakukan itu) untuk mencari
keuntungan sedikit. Sungguh celakalah mereka karena aktivitas mereka menulis
kitab-kitab (yang mereka katakan dari Allah itu), dan sungguh celakalah
mereka akibat tindakan mereka. (al-Baqarah:79)
Itulah penjelasan al-Quran tentang kitab-kitab
kaum Yahudi dan Kristen. Semestinya, sebagai orang yang mengaku Muslim, tentu
ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman berpikirnya. Sebab,
al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika tidak mau mengakui
kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim! Konsistensi berpikir semacam
ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan ketidakjujuran
dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya Injil, tentu akan menolak
al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau seorang tetap mengaku
Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya kepada kenabian
Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.
Maka, adalah aneh dan keluar dari logika
normal, kalau ada yang mengaku Muslim tetapi mengingkari kesucian al-Quran
dan sekaligus juga mengimani kesucian kitab-kitab agama lain saat ini, yang
sudah jelas-jelas banyak bagiannya bertentangan dengan al-Quran. Apalagi
menyatakan bahwa semua kitab suci agama-agama lain adalah mukjizat. Sungguh
pernyataan yang tidak masuk akal. Apakah Kitab Suci aliran kebatinan Darmo
Gandul dan Gatholoco juga mukjizat?
Tetapi, rupanya, para penyebar dan pengasong
ide-ide liberalisme di kalangan kaum Muslim, tidak berhenti sampai di situ.
Mereka kini aktif menulis berbagai buku dan artikel yang mencoba menggoyahkan
keyakinan kaum Muslim terhadap kesucian al-Quran. Seorang dosen Ulumul Quran
di satu IAIN di Indonesia menulis satu makalah berjudul "Edisi Kritis
al-Quran", yang isinya menyatakan: "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut
mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan
al-Qur'an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan
sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan
bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu,
tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya
penyuntingan edisi kritis al-Qur'an."
Jadi, si dosen itu ingin meyakinkan kepada
kita, bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga
perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul
"Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an" yang juga meragukan keabsahan dan
kesempurnaan Mushaf Utsmani. Dia tulis dalam bukunya (2005:379-381):
"Terdapat berbagai laporan tentang eksistensi bagian-bagian terhentu
al-Quran yang tidak direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd,
dan karena itu menggoyahkan otentisitas serta integritas kodifikasi
Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah melakukan sakralisasi
terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya
manusia."
Jadi, sekali lagi, penulis buku itu mencoba
meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan.
Yang ironis, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab,
tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis,
"Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau
susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas."
Penulis lain, seorang calon doktor dari satu
Universitas di Australia yang juga rajin mengasongkan paham liberalisme,
menulis sebuah catatan: "Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa
Al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan)
maupun maknanya (ma'nan).
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih
merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat
oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam."
Ada lagi sebuah tesis master di Universitas
Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara
terang-terangan juga menghujat Mushaf Utsmani. Tesis itu sudah diterbitkan
dalam sebuah buku berjudul: "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan",
dan diberi kata pengantar dua orang doctor dalam bidang studi Islam, dosen di
pascasarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati
hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
"Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab
ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini
saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam
Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif
dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani
dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf
Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak
sacral dan absolute, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut
hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses
pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf
tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi
perasaan dan pikiran kita."
Fenomena menghujat al-Quran seperti dilakukan
oleh para sarjana dari kalangan Muslim semacam ini adalah fenomena baru dalam
sejarah Islam Indonesia. Selama 350 tahun dijajah Belanda, fenomena semacam
ini tidak pernah ada. Hal semacam ini sudah begitu lumrah dalam tradisi
Kristen. Kritik terhadap Bibel sudah menjadi hal biasa. Mereka sudah
mengembangkan satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama "Biblical
Criticism".
Tradisi Kristen semacam ini sekarang dibawa
masuk ke dalam tradisi Islam oleh orang-orang dari kalangan Muslim sendiri,
yang terpengaruh oleh tradisi Kristen. Jika kita simak sebuah buku berjudul
"Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan"
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), tampak bagaimana pengaruh studi Bibel telah
merasuk ke dalam studi al-Quran di perguruan-perguruan tinggi Islam di
Indonesia.
Para penyerang al-Quran sebenarnya hanya
menjiplak ide-ide dan bukti-bukti yang disodorkan oleh para orientalis Yahudi
dan Kristen. Bisa jadi, mereka juga mengambil fakta-fakta yang telah ditulis
oleh para ulama Muslim. Tetapi, dianalisis dalam perspektif sesuai
kepentingan orientalis. Jauh sebelumnya, pada tahun 1927, Alphonse Mingana,
pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris,
sudah mengimbau bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan
kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab
suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa
Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the
same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the
Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)."
Imbauan pendeta Kristen dan tokoh studi Islam
itulah yang kini diikuti oleh begitu banyak sarjana dari kalangan Muslim.
Fenomena penyerangan terhadap al-Quran ini harusnya menjadi perhatian paling
serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Ini adalah bentuk kemungkaran
yang sangat besar. Sebab, mereka telah membongkar satu asas keyakinan kaum
Muslim yang paling asas, yaitu tentang kesucian al-Quran. Mungkin para
penghujat al-Quran itu sedang khilaf. Mungkin ia merasa menemukan sesuatu
yang hebat sehingga merasa dirinya lebih hebat dari para Imam dan ulama Islam
terkemuka. Mungkin juga mereka sekedar iseng, karena motif-motif tertentu.
Atau, mungkin juga ia merasa menemukan kebenaran.
Terlepas dari semua itu, buku-buku atau artikel
yang mereka terbitkan, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Cendekiawan muslim
wajib menjawabnya dengan cara-cara ilmiah yang lebih baik dari karya-karya
mereka. Tentu saja ini bukan tugas yang ringan, dan memerlukan biaya yang
sangat besar. Sebab, harus mengumpulkan literatur-literatur yang sangat
banyak. Sayangnya, dalam Kongres Umat Islam yang baru lalu, masalah ini tidak
disentuh. Padahal, masalah ini jauh lebih serius daripada masalah bencana
alam, pornografi, dan sebagainya. Bukankah Rasulullah saw sudah berpesan,
jika kita melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, lisan, atau hati.
Yang menjadi problem besar saat ini adalah ketika para cendekiawan Muslim
sendiri tidak paham, bahwa saat ini telah terjadi kemungkaran yang besar
semacam ini. Wallahu a’lam. (Jakarta, 29 April 2005/Hidayatullah.com).
|